Kisah ini merupakan yang mendasari munculnya syair Dhammapada Yamaka Vagga ayat 1, yang sering disebut juga syair - syair berpasangan. Berikut adalah kisah tersebut.
Suatu hari, Cakkhupala
Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang
Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja
menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan
bhikkhu yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengujunginya. Di tengah
jalan, di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang
mati.
“Iiih…, mengapa banyak
serangga yang mati di sini?” seru seorang bhikkhu. “Aah, jangan jangan…”,
celetuk yang lain. “Jangan-jangan apa?” sergah beberapa bhikkhu. “Jangan-jangan
ini perbuatan sang thera!” jawabnya. “Kok bisa begitu?” tanya yang lain lagi.
“Begini, sebelum sang thera berdiam disini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin
sang thera terganggu oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia
membunuhinya.”
“Itu berarti ia
melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!” seru beberapa
bhikkhu. “Benar, mari kita laporkan kepada Sang Buddha, bahwa Cakkhupala Thera
telah melanggar vinaya”, timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut.
Alih-alih dari
mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong
menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa “Cakkhupala Thera
telah melanggar vinaya!”
Mendengar laporan para
bhikkhu, Sang Buddha bertanya, “Para bhante, apakah kalian telah melihat
sendiri pembunuhan itu?”
“Tidak bhante”, jawab
mereka serempak.
Sang Buddha kemudian
menjawab, “Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak
melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera
telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk
membunuh.”
“Bagaimana seorang
yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?” tanya beberapa bhikkhu.
Maka Sang Buddha
menceritakan kisah di bawah ini:
Pada kehidupan lampau,
Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika
datang seorang wanita miskin. “Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya
ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang.
Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi
pembantu tuan”, pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.
Perlahan-lahan
penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi
ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat
menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib,
bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.
Setelah diperiksa
dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong
kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan
kepada wanita itu. “Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu”, demikian jawabnya.
“Nantikan pembalasanku!” serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi
buta total karena pembalasan sang tabib.
Sebagai akibat dari
perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak
kehidupan selanjutnya.
Mengakhiri ceritanya,
Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini:
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,pikiran adalah pembentuk.Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,maka penderitaan akan mengikutinya,bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang
menariknya.
Pada saat khotbah
Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata
batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin
analitis ‘Pandangan Terang’ (pati-sambhida).