Laman

Senin, 31 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 71 - Kisah Ahipeta


Murid utama Sang Buddha, Maha Moggallana Thera sedang dalam perjalanan untuk menerima dana makanan bersama Lakkhana Thera di Rajagaha. Ketika melihat sesuatu, beliau tersenyum, tetapi tidak mengataka apa-apa.

Setelah tiba di vihara, Maha Moggallana Thera memberitahu Lakkhana Thera, bahwa beliau tersenyum karena beliau melihat makhluk peta dengan kepala manusia dan bertubuh ular.

Sang Buddha berkata bahwa beliau sendiri telah melihat makhluk peta pada saat Beliau mencapai Penerangan sempurna. Sang Buddha juga menerangkan bahwa beberapa waktu yang lampau, ada seorang Paccekabuddha, yang dihormati oleh banyak orang. Orang-orang pergi ke vihara melewati suatu ladang. Pemilik ladang tersebut khawatir ladangnya akan rusak disebabkan oleh banyak orang lalu lalang pergi ke vihara, kemudian ia membakar vihara itu. Akibatnya Paccekabuddha harus berpindah ke tempat lain. Murid-murid Paccekabuddha menjadi sangat marah kepada pemilik ladang tersebut, mereka memukuli dan membunuhnya.

Pemilik ladang itu dilahirkan kembali di neraka Avici. Kelahirannya saat sekarang ini sebagai makhluk setan, merupakan akibat dari perbuatan buruk yang telah ia lakukan pada masa lampau.

Pada akhir penjelasannya, Sang Buddha berkata, “Sebuah perbuatan buruk tidak langsung berbuah, tetapi akan selalu mengikuti pembuat kejahatan. Tidak ada yang dapat bebas dari akibat perbuatan jahat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 71 berikut:

Suatu perbuatan jahat yang telah dilakukan,
tidak segera menghasilkan buah,
seperti air susu yang tidak langsung menjadi dadih;
demikianlah perbuatan jahat itu membara mengikuti orang bodoh,
seperti api yang ditutupi abu.



Minggu, 30 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 70 - Kisah Jambuka Thera


Jambuka adalah seorang hartawan di Savatthi. Berkaitan dengan perbuatan buruk yang dilakukannya di masa lampau, ia harus dilahirkan dengan kelakuan yang sangat aneh.

Ketika masih anak-anak, ia tidur di lantai tanpa alas kasur, dan memakan kotorannya sendiri sebagai ganti nasi. Ketika ia bertambah dewasa, orang tuanya mengirim kepada Ajivaka, pertapa telanjang. Ketika pertapa itu mengetahui kebiasaan makannya yang aneh, mereka mengirim Jambuka pulang ke rumah. Setiap malam ia makan kotoran manusia. Setiap hari berdiri dengan satu kaki, dan membiarkan mulutnya terbuka.
Ia selalu mengatakan bahwa ia membiarkan mulutnya terbuka, sebab ia hidup dari udara dan berdiri dengan satu kaki, sebab akan memberatkan bumi untuk mengangkatnya. “Saya tidak pernah duduk, saya tidak pernah tidur,” ia berbangga diri, dan oleh karena itu ia dikenal dengan nama Jambuka, orang congkak.
Beberapa orang mempercayainya dan beberapa orang mau datang kepadanya untuk berdana makanan. Jambuka akan menolak dan berkata, “Saya tidak menerima makanan selain udara.” ketika dipaksa, dia menerima sedikit dana makanan tersebut, kemudian ia akan memberikan segenggam rumput kusa kepada orang yang berdana makanan itu dan berkata: “Sekarang pergilah, semoga ini dapat memberikan kebahagiaan bagi anda.”

Dengan cara ini, Jambuka hidup selama lima puluh lima tahun telanjang, dan hanya makan kotoran manusia.
Suatu hari Sang Buddha melihat bahwa Jambuka akan mencapai tingkat kesucian arahat dengan segera. Maka suatu sore Sang Buddha pergi ke tempat tinggal Jambuka dan menanyakan di mana tempat bermalam.
Jambuka menunjukkan sebuah gua yang ada di gunung tidak jauh dari lempengan batu tempat tinggalnya.
Selama malam pertama, kedua, dan ketiga, dewa-dewa Catumaharajika, Sakka, dan Mahabrahma datang untuk memberikan penghormatan secara bergantian kepada Sang Buddha. Pada ketiga kesempatan tersebut, hutan itu terang benderang dan Jambuka menyaksikan ketiga cahaya tersebut.
Pagi harinya, ia mengunjungi Sang Buddha dan bertanya tentang cahaya tersebut.

Ketika diberitahu bahwa dewa-dewa, Sakka dan Mahabrahma datang memberikan hormat pada Sang Buddha, Jambuka sangat tertarik dan berkata kepada Sang Buddha: “Anda pasti benar-benar orang besar bagi para dewa, Sakka, dan Mahabrahma, sehingga mereka datang dan memberikan hormat kepadamu. Tidak seperti saya, meskipun saya telah berlatih hidup sederhana selama 55 tahun, hidup dari udara dan berdiri dengan satu kaki, tidak satu dewa pun, tidak juga Sakka, Mahabrahma mengunjungiku.”
Sang Buddha berkata kepadanya, “O, Jambuka! Kamu dapat menipu orang lain, tetapi kamu tidak dapat menipuku. Saya tahu bahwa selama 55 tahun kamu telah makan kotoran dan tidur di tanah.”

Lebih jauh Sang Buddha menerangkan kepadanya bagaimana kehidupannya yang lampau pada masa Buddha Kassapa, Jambuka telah menghalangi seorang thera untuk berkunjung ke rumah umat awam yang ingin berdana makanan dan bagaimana ia telah melemparkan semua makanan yang dikirimkan untuk thera tersebut. Karena kejahatannya itu, Jambuka sekarang makan kotoran dan tidur di tanah. Mendengar penjelasan tersebut, Jambuka sangat terkejut dan menyesal telah berbuat jahat dan telah menipu orang lain.
Ia berlutut di hadapan Sang Buddha, dan Sang Buddha memberinya selembar kain untuk dikenakan. Sang Buddha memberikan khotbah; dan pada akhir khotbah, Jambuka mencapai tingkat kesucian arahat serta menjadi murid Sang Buddha.

Murid Jambuka dari Anga dan Magadha datang dan mereka sangat terkejut melihat Jambuka bersama Sang Buddha. Jambuka menjelaskan kepada mereka bahwa ia telah menjadi murid Sang Buddha.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, meskipun guru mereka telah hidup dengan sederhana dengan makan makanan yang sangat sederhana, hal itu tidak bermanfaat, walaupun seperenambelas bagian dari latihan dan perkembangannya saat ini.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 70 berikut:

Biarpun bulan demi bulan orang bodoh memakan makanannya dengan ujung rumput kusa,
namun demikian ia tidak berharga seperenambelas bagian dari mereka yang telah mengerti Dhamma dengan baik.



Sabtu, 29 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 69 - Kisah Uppalavanna Theri


Ada seorang putri hartawan di Savatthi yang sangat cantik, dengan wajah yang sangat lembut dan manis, seperti bunga teratai biru. Ia diberi nama “Uppalavanna”, teratai biru. Kecantikannya tersohor sampai ke mana-mana, dan banyak pemuda yang ingin melamarnya. Pangeran, orang kaya dan yang lainnya. Tetapi ia memutuskan bahwa lebih baik dia menjadi seorang bhikkhuni, murid wanita Sang Buddha yang hidup tidak berkeluarga.

Suatu hari setelah menyalakan sebuah lampu, dia memusatkan pikirannya pada nyala lampu, dan bermeditasi dengan objek api, beliau segera mencapai pandangan terang dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.
Beberapa waktu kemudian, ia pindah ke “Hutan Gelap” (Andhavana) dan hidup dalam kesunyian. Ketika Uppalavanna sedang keluar untuk menerima dana makanan, Nanda, putra dari pamannya, datang mengunjungi vihara tempat ia tinggal dan memukul-mukulkan dirinya ke bawah tempat duduk Uppalavanna.
Nanda telah jatuh cinta kepada Uppalavanna sebelum ia menjadi seorang bhikkhuni; dan sangat ingin memilikinya dengan paksa. Ketika Uppalavanna datang, ia melihat Nanda dan berkata, “Kamu bodoh! Jangan menyakiti dirimu sendiri. Jangan menganiaya dirimu sendiri.” Tetapi Nanda tidak mau berhenti. Setelah puas menyakiti dirinya, Nanda meninggalkan Uppalavanna

Segera setelah ia melangkahkan kakinya ke tanah, tanah itu langsung membelah dan ia masuk ke dalamnya, akibat dari perbuatannya mengganggu orang suci.

Mendengar hal itu Sang Buddha membabarkan syair 69 berikut ini:

Selama buah dari suatu perbuatan jahat belum masak,
maka orang bodoh akan menganggapnya manis seperti madu;
tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak,
maka ia akan merasakan pahitnya penderitaan.


Beberapa orang mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Sang Buddha selanjutnya mengundang Raja Pasenadi dari Kosala dan berkata kepada beliau tentang bahayanya seorang bhikkhuni tinggal di hutan menghadapi orang-orang tidak bertanggung jawab yang dibutakan oleh nafsu seksualnya. Sang Raja berjanji hanya akan membangun vihara-vihara untuk para bhikkhuni di kota-kota atau dekat dengan kota.



Jumat, 28 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 68 - Kisah Sumana, Penjual Bunga


Seorang penjual bunga, bernama Sumana, harus mengirimkan bunga melati kepada Raja Bimbisara dari Rajagaha setiap pagi. Suatu hari, ketika ia akan pergi ke istana, ia melihat Sang Buddha, dengan pancaran sinar aura sangat terang, datang ke kota untuk berpindapatta dengan diikuti oleh beberapa bhikkhu.
Melihat Sang Buddha yang sangat agung, penjual bunga Sumana sangat ingin mendanakan bunganya kepada Sang Buddha, pada saat itu dan di tempat itu pula. Ia memutuskan, meskipun raja akan mengusirnya dari kota atau membunuhnya, ia tidak akan memberikan bunganya kepada raja pada hari itu.

Kemudian ia melemparkan bunganya ke samping, ke belakang, ke atas dan di atas kepala Sang Buddha. Bunga-bunga itu menggantung di udara; di atas kepala Sang Buddha membentuk seperti payung dari bunga-bunga. Di belakang dan di sisi-sisi Beliau membentuk seperti dinding. Bunga-bunga ini terus mengikuti Sang Buddha kemana saja Beliau berjalan, dan ikut berhenti ketika Beliau berhenti.

Ketika Sang Buddha berjalan, dikelilingi oleh dinding-dinding dari bunga, dan dipayungi oleh bunga, dengan enam sinar yang memancar dari tubuhnya, diikuti oleh kelompok besar, ribuan orang dari dalam maupun dari luar kota Rajagaha. Mereka keluar dari rumahnya dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Bagi Sumana sendiri, seluruh tubuhnya diliputi dengan kegiuran batin (piti).

Istri Sumana kemudian menghadap raja dan berkata bahwa ia tidak ikut campur dalam kesalahan suaminya, karena suaminya tidak mengirim bunga kepada raja hari ini. Raja yang telah mencapai tingkat kesucian sotapanna, merasa sangat berbahagia. Ia keluar istana untuk melihat pemandangan yang indah itu dan memberikan hormat kepada Sang Buddha.

Raja juga mengambil kesempatan untuk memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya. Setelah makan siang, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana dan raja mengikutinya sampai beberapa jauh.

Dalam perjalanan pulang, Raja memanggil Sumana dan memberikan penghargaan kepadanya yang berupa delapan ekor kuda, delapan orang budak laki-laki, delapan orang budak wanita, delapan orang anak gadis, dan uang delapan ribu.

Di Vihara Jetavana, Y.A. Ananda bertanya kepada Sang Buddha apa manfaat yang akan diperoleh Sumana dari perbuatan baik yang telah dilakukannya pada pagi hari itu. Sang Buddha menjawab bahwa Sumana, yang telah memberikan dana kepada Sang Buddha tanpa memikirkan hidupnya, tidak akan dilahirkan di empat alam yang menyedihkan (Apaya) untuk beratus-ratus ribu kehidupan yang akan datang. Dan ia akan menjadi seorang Pacceka Buddha. Setelah itu, Sang Buddha memasuki Gandhakuti, dan bunga-bunga itu jatuh dengan sendirinya.

Malam harinya, pada akhir khotbah Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

Bila suatu perbuatan setelah selesi dilakukan tidak membuat seseorang menyesal,
maka perbuatan itu adalah baik.
Orang itu akan menerima buah perbuatannya dengan hati gembira dan puas.



Kamis, 27 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 67 - Kisah Seorang Petani


Suatu hari beberapa pencuri setelah mencuri benda-benda berharga dan sejumlah uang dari rumah orang kaya, melarikan diri ke suatu ladang. Di sana mereka membagi hasil curian dan berlari berpisah. Tetapi sebuah bungkusan yang berisi uang yang berjumlah banyak terjatuh dari tangan salah seorang pencuri, dan tertinggal di belakang. Tidak ada yang memperhatikan.

Keesokan paginya Sang Buddha yang sedang mengamati dunia dengan penglihatan supranaturalnya, melihat bahwa ada seorang petani sedang bekerja dekat ladang tersebut, akan mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Segera Sang Buddha pergi ke sana, ditemani oleh Y.A. Ananda. Petani tersebut ketika melihat Sang Buddha memberi hormat, kemudian melanjutkan kembali membajak sawah.

Sang Buddha melihat bungkusan uang tersebut dan berkata, “Ananda, lihatlah seekor ular yang sangat berbisa.” Ananda menjawab, “Ya, Bhante, itu benar-benar seekor ular yang sangat berbisa!” Kemudian Sang Buddha dan Ananda melanjutkan perjalanannya.

Petani itu mendengarkan percakapan tersebut di atas, ia pergi mencari apakah benar ada seekor ular, dan menemukan bungkusan yang berisi uang. Ia mengambil bungkusan itu dan menyembunyikannya di suatu tempat.

Pemilik barang yang dicuri datang ke ladang mencari jejak para pencuri. Ia menemukan jejak kaki petani, kemudian ia menemukan bungkusan uang. Ia menangkap petani itu dengan dakwaan sebagai pencuri dan menghadapkannya kepada raja.

Raja memerintahkan orang kaya itu untuk membunuh petani. Ketika dibawa ke pemakaman, tempat petani akan dibunuh, petani itu mengulang kalimat: “Ananda, lihatlah ada seekor ular yang sangat berbisa. Bhante, saya melihat ular; sungguh-sungguh seekor ular yang sangat berbisa!”

Ketika pegawai Raja mendengar percakapan antara Sang Buddha dan Ananda diulang-ulang selama dalam perjalanan, mereka kebingungan, dan membawanya menghadap Raja. Raja menyangka bahwa petani itu memanggil Sang Buddha untuk dijadikan saksi; beliau kemudian meminta kehadiran Sang Buddha.
Setelah mendengar segala keterangan apa yang terjadi pagi hari itu dari Sang Buddha, raja mengatakan, “Apabila ia tidak dapat memanggil Sang Buddha sebagai saksi yang menyatakan ia tidak bersalah, orang ini akan dibunuh.”

Kepada petani itu, Sang Buddha berkata, “Orang bijaksana seharusnya tidak melakukan sesuatu yang akan membuatnya menyesal setelah melakukannya.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 67 berikut:

Bilamana suatu perbuatan setelah selesai dilakukan membuat seseorang menyesal,
maka perbuatan itu tidak baik.
Orang itu akan menerima akibat perbuatannya dengan ratap tangis dan wajah yang berlinang air mata.


Petani tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Selasa, 25 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 66 - Kisah Suppabuddha, Penderita Kusta


Suppabuddha, penderita kusta, suatu ketika duduk di bagian belakang kumpulan orang dan mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ketika kerumunan orang tersebut sudah membubarkan diri, ia mengikuti Sang Buddha ke vihara. Ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha tentang pencapaiannya.

Sakka, raja para dewa, berkeinginan untuk menguji keyakinan orang kusta tersebut kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, menampakkan dirinya dan berkata: “Kamu hanya seorang miskin, hidup dari meminta-minta, tanpa seorang pun yang mendekati kamu. Saya dapat memberi kamu kekayaan yang sangat besar jika kamu mengingkari Buddha, Dhamma, dan Sangha dan katakan pula bahwa kamu tidak bermanfaat bagi mereka.”

Suppabuddha menjawab, “Sesungguhnya saya bukanlah orang miskin, tanpa seorang pun yang percaya. Saya orang kaya; saya meyakini tujuh ciri yang dimiliki oleh para ariya; saya mempunyai keyakinan (saddha), kesusilaan (sila), malu berbuat jahat (hiri), takut akan akibat perbuatan jahat (ottappa), pengetahuan (suta), murah hati (caga), dan kebijaksanaan (panna).”

Kemudian Sakkha menghadap Sang Buddha mendahului Suppabuddha. Sang Buddha menjawab bahwa tidaklah mudah meskipun seratus atau seribu Sakka untuk membujuk Suppabuddha meninggalkan Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Dalam perjalanan pulangnya dari Vihara Jetavana, Suppabuddha mati berlumuran darah diseruduk seekor sapi yang sedang marah, yang sesungguhnya adalah satu raksasa yang menyamar sebagai seekor sapi. Raksasa ini tidak lain adalah pelacur yang dibunuh oleh Suppabuddha pada kehidupannya yang lampau dan yang telah memenuhi keinginannya untuk membalas dendam.

Ketika berita kematian Suppabuddha sampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, dimana Suppabuddha dilahirkan kembali, dan Sang Buddha menjawab bahwa Suppabuddha dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa. Sang Buddha juga menerangkan kepada para bhikkhu bahwa Suppabuddha dilahirkan sebagai seorang kusta karena pada salah satu kelahirannya yang lampau, ia pernah meludahi seorang Pacekabuddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 66 berikut:

Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya,

memperlakukan diri sendiri seperti musuh;
ia melakukan perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang pahit.



Senin, 24 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 65 - Kisah Tiga Puluh Bhikkhu Dari Paveyyaka


Suatu ketika, tiga puluh orang pemuda dari Paveyyaka bersenang-senang dengan seorang pelacur di hutan. Ketika mereka lengah, pelacur itu mencuri beberapa perhiasan dan melarikan diri.

Pemuda-pemuda tersebut mencari pelacur yang lari di hutan, mereka bertemu dengan Sang Buddha dalam perjalanan. Sang Buddha menyampaikan suatu khotbah kepada para pemuda tersebut dan mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mereka semuanya bergabung dengan Sang Buddha dan ikut ke Vihara Jetavana.
Ketika tinggal di vihara, mereka berlatih dengan sungguh-sungguh hidup sederhana atau melaksanakan latihan keras (dhutanga). Akhirnya ketika Sang Buddha menyampaikan “Anamatagga Sutta” (Khotbah tentang keberadaan Hidup yang Tak Terhitung), seluruh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.

Ketika bhikkhu-bhikkhu yang lain memberikan komentar bahwa bhikkhu-bhikkhu dari Paveyyaka sangat cepat mencapai tingkat kesucian Arahat, Sang Buddha menjawab dalam syair 65 berikut ini:

Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan orang bijaksana,
namun dengan segera ia akan dapat mengerti Dhamma,
bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur.



Minggu, 23 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 64 - Kisah Udayi Thera


Udayi Thera sering mengunjungi, dan duduk di atas tempat duduk, dimana para thera terpelajar duduk pada waktu menyampaikan khotbah. Pada suatu kesempatan, beberapa bhikkhu tamu menyangka bahwa ia adalah seorang thera yang terpelajar, dan mereka mengajukan beberapa pertanyaan tentang lima kelompok unsur khanda. Udayi Thera tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebab beliau tidak mengerti sama sekali tentang Dhamma.

Para bhikkhu tamu sangat terkejut menemukan seseorang yang tinggal dalam satu vihara dengan Sang Buddha hanya mengetahui sedikit saja tentang khanda dan ajaran ayatana (dasar indria dan objek indria).

Kepada bhikkhu tamu itu Sang Buddha menerangkan keadaan Udayi Thera dalam syair 64 berikut ini:

Orang bodoh, walaupun selama hidupnya bergaul dengan orang bijaksana,
tetap tidak akan mengerti Dhamma,
bagaikan sendok yang tidak dapat merasakan rasa sayur.



Sabtu, 22 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 63 - Kisah Dua Orang Pencopet


Suatu ketika dua orang pencopet bersama-sama dengan sekelompok umat awam pergi ke Vihara Jetavana. Di sana Sang Buddha sedang memberikan khotbah. Satu di antara mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tetapi pencopet satunya lagi tidak memperhatikan khotbah yang disampaikan, karena ia hanya berpikir untuk mencuri sesuatu. Ia mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang dari salah seorang umat.
Setelah khotbah berakhir mereka pulang dan memasak makan siangnya di rumah pencopet kedua, pencopet yang sudah mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang tersebut. Istri dari pencopet kedua mencela pencopet pertama: “Kamu sangat tidak bijaksana, mengapa kamu tidak mempunyai sesuatu untuk dimasak di rumahmu.”

Mendengar pernyataan tersebut, pencopet pertama berpikir, “Orang ini sangat bodoh, dia berpikir bahwa dia menjadi sangat bijaksana.” Kemudian bersama-sama dengan keluarganya, ia menghadap Sang Buddha dan menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 63 berikut:

Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya,
maka ia dapat dikatakan bijaksana;
tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana,
sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh.


Semua keluarga pencopet pertama tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Jumat, 21 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 62 - Kisah Ananda, Seorang Hartawan


Tinggallah seorang hartawan yang sangat kaya bernama Ananda di Savatthi. Meskipun dia memiliki delapan crore, dia tidak mau memberikan sesuatu apapun untuk berdana. Kepada anaknya Mulasiri, dia sering mengatakan, “Jangan berpikir bahwa kekayaan yang kita miliki saat ini cukup banyak. Jangan berikan sesuatu apapun yang kau punyai, untukmu buatlah semakin bertambah. Jika tidak, kekayaanmu semakin berkurang.”

Orang kaya ini memiliki lima guci berisi emas yang dikubur di dalam rumahnya, dan ia meninggal dunia tanpa memberitahukan tempat penyimpanan guci itu kepada putranya.

Ananda, orang kaya yang telah meninggal tadi, dilahirkan di sebuah perkampungan pengemis, tidak jauh dari Savatthi. Waktu ibunya sedang mengandung, penghasilan dan keberuntungan para pengemis menurun. Penduduk perkampungan itu berpikir bahwa ada seseorang yang tidak beruntung dan menyebabkan kesialan di antara mereka. Dengan membagi mereka kedalam kelompok-kelompok, mereka mengambil kesimpulan bahwa pengemis wanita yang sedang mengandung itu mendatangkan kesialan bagi mereka.

Ia diusir keluar dari desa. Ketika anaknya lahir, anaknya sangat jelek dan menjijikan. Jika wanita itu pergi mengemis sendirian ia akan memperoleh hasil seperti biasa, tetapi jika ia pergi bersama putranya, ia tidak mendapatkan apa-apa. Maka, ketika putranya bertambah dewasa dan dapat berjalan sendiri, ibunya memasang tanda di tangannya dan kemudian meninggalkannya.

Ketika pengemis muda itu berkelana ke Savatthi, ia mengingat rumahnya dan kehidupannya yang lampau. Ia mengunjungi rumah tersebut. Anak-anak dari putranya, Mulasiri, melihatnya. Mereka sangat ketakutan melihat penampilannya yang buruk. Pelayan-pelayan kemudian memukulinya dan mendorongnya keluar rumah.

Sang Buddha yang sedang melakukan pindapatta melihat peristiwa itu dan meminta Y.A. Ananda untuk mengundang Mulasiri. Ketika Mulasiri datang, Sang Buddha memberitahukan bahwa pengemis muda tadi adalah ayahnya sendiri pada kehidupan yang lampau. Tetapi Mulasiri tidak mempercayainya.
Maka Sang Buddha menyuruh pengemis muda itu untuk menunjukkan dimana lima buah guci emas tersebut dikubur. Akhirnya Mulasiri menerima kenyataan yang ada, dan sejak itu ia menjadi umat awam pengikut Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 62 berikut:

“Anak-anak ini milikku, kekayaan ini milikku,”
demikianlah pikiran orang bodoh.
Apabila dirinya sendiri sebenarnya bukan merupakan miliknya,
bagaimana mungkin anak dan kekayaan itu menjadi miliknya?



Kamis, 20 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 61 - Kisah Murid Yang Tinggal Bersama Mahakassapa Thera


Ketika Mahakassapa Thera bersemayam dekat Rajagaha, beliau tinggal bersama dua orang bhikkhu muda. Salah satu bhikkhu tersebut sangat hormat, patuh, dan taat kepada Mahakassapa Thera. Tetapi bhikkhu yang satu lagi tidak seperti itu. Ketika Mahakassapa Thera mencela kekurang-taatan melaksanakan tugas-tugas murid yang belakangan, murid tersebut sangat kecewa.

Pada suatu kesempatan, ia pergi ke salah satu rumah umat awam siswa Mahakassapa Thera, dan membohongi mereka bahwa Sang Thera sedang sakit. Ia mendapatkan beberapa makanan dari mereka untuk Mahakassapa Thera. Tetapi ia makan makanan tersebut di perjalanan. Ketika sang thera menasehati tentang kelakuannya itu, bhikkhu tersebut menjadi sangat marah.

Keesokan harinya ketika Mahakassapa Thera pergi keluar untuk berpindapatta, bhikkhu muda yang bodoh ini tidak ikut. Ia memecahkan tempat air dan kuali, serta membakar vihara.
Seorang bhikkhu dari Rajagaha menceritakan peristiwa itu kepada Sang Buddha, Sang Buddha mengatakan lebih baik Mahakassapa Thera tinggal sendirian daripada tinggal bersama orang bodoh.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 61 berikut:

Apabila dalam pengembaraan,
seseorang tak menemukan sahabat yang lebih baik atau sebanding dengan dirinya,
maka hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri.
Janganlah bergaul dengan orang bodoh.


Bhikkhu dari Rajagaha tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Rabu, 19 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 60 - Kisah Seorang Pemuda


Suatu hari Raja Pasenadi dari Kosala sedang berjalan-jalan di kota. Secara tidak sengaja beliau melihat seorang wanita muda berdiri dekat jendela rumahnya dan beliau langsung jatuh cinta. Raja mencoba untuk menemukan berbagai cara dan kesempatan untuk mendapatkannya. Setelah mengetahui bahwa wanita muda itu telah menikah, Raja memanggil suami wanita muda tersebut dan dijadikan pelayan di istana.
Suatu ketika raja memerintahkan suami wanita muda itu untuk melakukan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Pemuda itu diperintahkan untuk pergi ke suatu tempat, yaitu satu yojana (dua belas mil) jauhnya dari Savatthi, serta membawa pulang beberapa bunga teratai Kumuda dan sedikit tanah merah yang dikenal dengan nama Arunavati, tanahnya Naga, dan kembali ke Savatthi pada sore yang sama, pada waktu raja mandi.
Tujuan raja adalah untuk membunuh suami wanita muda tersebut, jika ia gagal kembali pada waktu yang telah ditentukan, dan mengambil wanita muda itu sebagai istrinya.

Pemuda itu mengambil ransum makanan dari istrinya dengan tergesa-gesa, dan segera berangkat untuk melaksanakan perintah raja. Di perjalanan, pemuda itu membagi bekal makanannya kepada seorang pengembara. Dia juga melemparkan sedikit nasi ke dalam air dan berteriak: “O, makhluk-makhluk penjaga dan naga-naga penghuni sungai ini! Raja Pasenadi telah menyuruhku untuk mengambil beberapa bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati untuk beliau. Hari ini aku telah membagi makananku dengan seorang pengembara; aku juga memberi makanan buat ikan-ikan di sungai; sekarang aku juga membagi manfaat perbuatan baikku yang telah aku lakukan hari ini denganmu. Berilah aku bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati.” Raja naga mendengarnya. Dengan menyamar sebagai orang tua memberikan bunga teratai dan tanah merah yang diharapkan.

Sore hari Raja Pasenadi yang cemas, seandainya pemuda tersebut datang kembali tepat pada waktunya, telah memerintahkan untuk menutup gerbang kota lebih awal. Setelah mengetahui bahwa pintu gerbang kota telah ditutup, maka pemuda tadi meletakkan tanah merah pada dinding kota dan menempelinya dengan bunga teratai.
Kemudian dia menyatakan dengan keras: “O, para warga kota! Jadilah saksiku! Hari ini aku telah memenuhi tugasku tepat pada waktunya seperti yang telah diperintahkan oleh Raja. Raja Pasenadi, tanpa ada keadilan, merencanakan untuk membunuhku.”
Setelah itu pemuda tadi munuju Vihara Jetavana untuk mencari perlindungan dan menghibur dirinya di tempat yang penuh kedamaian tersebut.

Di lain pihak Raja Pasenadi yang digoda oleh nafsu seksualnya, tidak dapat tidur, dan terus memikirkan bagaimana menyingkirkan suami wanita muda itu dan memperistrinya. Tengah malam beliau mendengar suara-suara aneh; yang sesungguhnya merupakan suara-suara yang menyayat hati dari empat makhluk menderita di alam Lohakumbhi Niraya. Sang Raja sangat ketakutan mendengar suara-suara yang mengerikan tersebut. Keesokan paginya Raja Pasenadi mengunjungi Sang Buddha, seperti yang disarankan oleh Ratu Mallika.

Kemudian Sang Buddha menjelaskan tentang empat suara yang didengar raja pada malam hari, beliau mengatakan bahwa suara-suara itu merupakan suara-suara empat makhluk, yang merupakan putra dari seorang hartawan yang hidup pada masa Buddha Kassapa, dan sekarang mereka menderita di Lohakumbhi Niraya, sebab mereka telah melakukan perzinaan dengan istri-istri orang lain.
Raja akhirnya menyadari perbuatan buruk dan akibat yang diperoleh. Raja berjanji tidak akan menginginkan istri orang lain lagi. “Kejadian itu sama dengan nafsu keinginanku untuk memiliki istri orang lain yang membuatku tersiksa dan tidak dapat tidur,” pikir beliau.

Kemudian Raja Pasenadi mengatakan kepada Sang Buddha, “Bhante, sekarang saya menyadari bagaimana lamanya malam untuk seseorang yang tidak dapat tidur.” Pemuda tadi juga mengatakan, “Bhante, saya telah melakukan perjalanan penuh satu yojana kemarin, saya juga mengetahui bagaimana panjangnya satu yojana bagi seseorang yang lelah.”

Sang Buddha kemudian membabarkan syair 60 dengan menggabungkan kedua pernyataan di atas seperti berikut ini:

Malam terasa panjang bagi orang yang berjaga,

satu yojana terasa jauh bagi orang yang lelah;
sungguh panjang siklus kehidupan bagi orang bodoh
yang tidak mengenal Ajaran Benar.



Pemuda tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah kotbah Dhamma itu berakhir.

Selasa, 18 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 59 - Kisah Garahadinna


Ada dua orang sahabat bernama Sirigutta dan Garahadinna tinggal di Savatthi. Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha, pertapa yang memusuhi Sang Buddha.
Dalam hal berkaitan dengan Nigantha, Garahadinna seringkali berkata kepada Sirigutta, “Apa manfaat yang kamu dapatkan menjadi pengikut Buddha? Kemarilah, jadilah pengikut guruku.” Setelah berulang kali dibujuk, Sirigutta berkata kapada Garahadinna, “Katakan padaku, apa yang diketahui oleh gurumu?” Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat mengetahui segalanya. Dengan kekuatannya, dia dapat mengetahui masa lampau, saat ini, dan masa depan dan juga dapat membaca pikiran orang lain. Maka, Sirigutta mengundang Nigantha untuk datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan.
Sirigutta ingin mengetahui kebenaran tentang Nigantha, apakah mereka benar-benar memiliki kekuatan untuk mengetahui pikiran seseorang, masa lampau, sekarang dan masa depan seseorang.
Maka ia membuat sebuah parit yang dalam dan panjang dan dipenuhi dengan sampah dan kotoran. Tempat duduk untuk Nigantha dan murid-muridnya ditempatkan dengan sembarangan di atas parit. Belanga-belanga kotor dan besar dibawa masuk dan ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatan seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.

Ketika pertapa-pertapa Nigantha tiba, mereka dipersilahkan untuk masuk satu per satu, untuk berdiri di dekat tempat duduk yang telah disiapkan, dan langsung dipersilahkan duduk. Ketika mereka telah duduk, penutup parit tadi pecah dan pertapa-pertapa Nigantha jatuh ke dalam parit yang kotor.
Kemudian Sirigutta bertanya kepada mereka, “Kenapa kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan? Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain?” Semua pertapa-pertapa Nigantha merasa dijebak.
Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta dan menolak untuk berbicara dengannya selama dua minggu. Kemudian, ia memutuskan bahwa ia akan membalas perlakuan Sirigutta. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak marah lebih lama lagi.

Suatu hari ia menyuruh Sirigutta mengundang Sang Buddha dan lima ratus muridnya untuk berpindapatta. Maka Sirigutta menghadap Sang Buddha dan mengundangnya ke rumah Garahadinna. Ia mengatakan kepada Sang Buddha apa yang ia lakukan kepada pertapa-pertapa Nigantha, guru Garahadinna. Ia juga menunjukkan rasa takut undangan tersebut mungkin suatu jebakan.
Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui bahwa akan merupakan suatu kesempatan bagi dua sahabat itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dengan tersenyum Sang Buddha menyatakan undangan tersebut diterima.

Garahadinna membuat sebuah parit, dipenuhi dengan bara yang menyala dan ditutup dengan karpet. Dia juga meletakkan belanga-belanga kosong yang ditutup dengan kain dan daun-daun pisang, agar kelihatannya penuh dengan nasi dan kari.
Keesokan harinya, Sang Buddha datang diikuti oleh lima ratus bhikkhu dalam satu rombongan. Ketika Sang Buddha melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala, karpet dan bara api tiba-tiba menghilang, dan lima ratus bunga teratai sebesar roda kereta, membentang untuk Sang Buddha dan murid-muridnya duduk.

Melihat keajaiban ini, Garahadinna sangat cemas dan dia mengatakan kepada Sirigutta: “Bantulah saya, teman. Bukan keinginan saya untuk membalas dendam. Saya telah melakukan perbuatan yang salah. Rencana buruk saya tidak ada yang berpengaruh terhadap semua gurumu. Periuk-periuk yang ada di dapur semuanya kosong. Tolonglah saya.”

Sirigutta kemudian berkata kepada Garahadinna untuk pergi dan melihat periuk-periuk tersebut. Ketika Garahadinna melihat ke dapur, semua periuk-periuknya telah berisi makanan. Ia menjadi sangat kagum. Pada waktu yang sama juga menjadi sangat lega dan gembira. Makanan tersebut kemudian disajikan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya.

Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana terhadap perbuatan baik itu dan Beliau berkata, “Mereka yang tidak-tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kualitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 58 dan 59 berikut ini:

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,

tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.

Begitu juga di antara orang duniawi,

siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna,
bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.


Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahan-lahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna mencapai tingkat sotapatti.
Keduanya memperbarui persahabatan mereka dan menjadi penyokong utama bagi Sang Buddha dan para bhikkhu. Mereka juga banyak berdana untuk kepentingan Dhamma.


Senin, 17 Agustus 2015

Dhammapada Atthakatha 58 - Kisah Garahadinna


Ada dua orang sahabat bernama Sirigutta dan Garahadinna tinggal di Savatthi. Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha, pertapa yang memusuhi Sang Buddha.
Dalam hal berkaitan dengan Nigantha, Garahadinna seringkali berkata kepada Sirigutta, “Apa manfaat yang kamu dapatkan menjadi pengikut Buddha? Kemarilah, jadilah pengikut guruku.” Setelah berulang kali dibujuk, Sirigutta berkata kapada Garahadinna, “Katakan padaku, apa yang diketahui oleh gurumu?” Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat mengetahui segalanya. Dengan kekuatannya, dia dapat mengetahui masa lampau, saat ini, dan masa depan dan juga dapat membaca pikiran orang lain. Maka, Sirigutta mengundang Nigantha untuk datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan.
Sirigutta ingin mengetahui kebenaran tentang Nigantha, apakah mereka benar-benar memiliki kekuatan untuk mengetahui pikiran seseorang, masa lampau, sekarang dan masa depan seseorang.

Maka ia membuat sebuah parit yang dalam dan panjang dan dipenuhi dengan sampah dan kotoran. Tempat duduk untuk Nigantha dan murid-muridnya ditempatkan dengan sembarangan di atas parit. Belanga-belanga kotor dan besar dibawa masuk dan ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatan seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.

Ketika pertapa-pertapa Nigantha tiba, mereka dipersilahkan untuk masuk satu per satu, untuk berdiri di dekat tempat duduk yang telah disiapkan, dan langsung dipersilahkan duduk. Ketika mereka telah duduk, penutup parit tadi pecah dan pertapa-pertapa Nigantha jatuh ke dalam parit yang kotor.

Kemudian Sirigutta bertanya kepada mereka, “Kenapa kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan? Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain?” Semua pertapa-pertapa Nigantha merasa dijebak.
Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta dan menolak untuk berbicara dengannya selama dua minggu. Kemudian, ia memutuskan bahwa ia akan membalas perlakuan Sirigutta. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak marah lebih lama lagi.

Suatu hari ia menyuruh Sirigutta mengundang Sang Buddha dan lima ratus muridnya untuk berpindapatta. Maka Sirigutta menghadap Sang Buddha dan mengundangnya ke rumah Garahadinna. Ia mengatakan kepada Sang Buddha apa yang ia lakukan kepada pertapa-pertapa Nigantha, guru Garahadinna. Ia juga menunjukkan rasa takut undangan tersebut mungkin suatu jebakan.
Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui bahwa akan merupakan suatu kesempatan bagi dua sahabat itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dengan tersenyum Sang Buddha menyatakan undangan tersebut diterima.

Garahadinna membuat sebuah parit, dipenuhi dengan bara yang menyala dan ditutup dengan karpet. Dia juga meletakkan belanga-belanga kosong yang ditutup dengan kain dan daun-daun pisang, agar kelihatannya penuh dengan nasi dan kari.

Keesokan harinya, Sang Buddha datang diikuti oleh lima ratus bhikkhu dalam satu rombongan. Ketika Sang Buddha melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala, karpet dan bara api tiba-tiba menghilang, dan lima ratus bunga teratai sebesar roda kereta, membentang untuk Sang Buddha dan murid-muridnya duduk.

Melihat keajaiban ini, Garahadinna sangat cemas dan dia mengatakan kepada Sirigutta: “Bantulah saya, teman. Bukan keinginan saya untuk membalas dendam. Saya telah melakukan perbuatan yang salah. Rencana buruk saya tidak ada yang berpengaruh terhadap semua gurumu. Periuk-periuk yang ada di dapur semuanya kosong. Tolonglah saya.”

Sirigutta kemudian berkata kepada Garahadinna untuk pergi dan melihat periuk-periuk tersebut. Ketika Garahadinna melihat ke dapur, semua periuk-periuknya telah berisi makanan. Ia menjadi sangat kagum. Pada waktu yang sama juga menjadi sangat lega dan gembira. Makanan tersebut kemudian disajikan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya.

Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana terhadap perbuatan baik itu dan Beliau berkata, “Mereka yang tidak-tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kualitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 58 dan 59 berikut ini:

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.

Begitu juga di antara orang duniawi,
siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna,
bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.


Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahan-lahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna mencapai tingkat sotapatti.
Keduanya memperbarui persahabatan mereka dan menjadi penyokong utama bagi Sang Buddha dan para bhikkhu. Mereka juga banyak berdana untuk kepentingan Dhamma.


DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA