Laman

Sabtu, 14 Mei 2016

Dhammapada Atthakata 145 - Kisah Samanera Sukha


Sukha menjadi samanera pada usia 7 tahun dan ditahbiskan oleh Sariputta Thera. Setelah 8 hari menjadi samanera, ia bersama Sariputta Thera pergi berpindapatta. Ketika sedang berjalan berkeliling, mereka melihat para petani sedang mengairi sawahnya, para pemanah sedang meluruskan anak panah, dan beberapa tukang kayu sedang membuat roda pedati, dan sebagainya.

Setelah melihat semua ini, ia bertanya kepada Sariputta Thera, apakah hal-hal (barang-barang) itu dapat diarahkan ke sesuatu tujuan tertentu sesuai dengan keinginan seseorang, atau dapat dibuat menjadi sesuatu sesuai dengan keinginan seseorang.

Sang Thera menjawab memang demikian. Kemudian Samanera muda memahami bahwa dengan demikian tidak ada alasan mengapa seseorang tidak dapat mengendalikan batinnya, serta melatih “Meditasi Ketenangan” dan “Meditasi Pandangan Terang”.

Kemudian, ia meminta izin kepada Sariputta Thera untuk pulang kembali ke vihara. Di sana ia masuk ke dalam kamarnya dan berlatih meditasi dalam ketenangan.
Dewa Sakka dan para dewa membantu latihan meditasinya dengan cara menjaga suasana vihara agar tetap tenang.

Pada hari kedelapan setelah ia menjadi samanera, Sukha mencapai tingkat kesucian arahat.
Berhubungan dengan hal ini, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Ketika seseorang melaksanakan Dhamma dengan sungguh-sungguh, maka Sakka dan para dewa akan menolong dan melindunginya. Saya sendiri telah meminta Sariputta Thera berjaga di depan pintu kamarnya, sehingga ia tidak terganggu. Samanera telah melihat para petani bekerja dengan giat mengairi sawahnya, para pemanah meluruskan anak panahnya, tukang kayu membuat roda pedati, dan lain-lain, kemudian ia berusaha melatih batinnya dan melaksanakan Dhamma. Ia telah mencapai tingkat kesucian arahat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 145 berikut ini:

Pembuat saluran air mengatur jalannya air,
tukang panah meluruskan anak panah,
tukang kayu melengkungkan kayu,
orang bajik mengendalikan dirinya sendiri.



Kamis, 12 Mei 2016

Dhammapada Atthakata 144 - Kisah Pilotikatissa Thera


Suatu saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang berpakaian buruk berjalan meminta makanan. Beliau merasa iba melihat pemuda tersebut, dan mengajaknya menjadi seorang samanera. Samanera muda tersebut meninggalkan pakaian dan mangkuknya pada sebuah dahan pohon. Ketika ditahbis menjadi seorang bhikkhu ia dikenal dengan nama Pilotikatissa.
Sebagai seorang bhikkhu, ia tidak kekurangan makanan dan pakaian. Namun pada suatu saat ia merasa tidak bahagia hidup sebagai seorang bhikkhu dan berkeinginan kembali hidup sebagai umat biasa. Ketika perasaannya timbul, ia pergi ke pohon dimana ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya.

Ketika sampai di sana, timbul pertanyaan dalam hatinya, “Oh, orang tak tahu malu, apakah engkau mau meninggalkan kedamaian demi pakaian dan mangkuk? Apakah engkau masih mau memakai pakaian kotor dan mangkuk tua di tanganmu?” Kemudian ia memarahi diri sendiri. Setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara.

Dua atau tiga hari setelah kejadian tersebut, perasaan itu timbul kembali. Ia kemudian pergi ke pohon itu kembali dan bertanya pada dirinya sendiri perihal pertanyaan yang sama. Seperti kejadian pertama, ia memarahi dirinya sendiri dan setelah menenangkan diri, ia kembali ke vihara. Kejadian ini terulang beberapa kali.

Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepadanya, mengapa ia sering pergi ke pohon tersebut, ia memberitahu mereka bahwa ia pergi menemui gurunya (dianggap sebagai “guru”, karena membuat ia malu dan kembali ke jalan yang benar).

Dengan tetap memikirkan pakaian dan mangkuk sebagai objek meditasi, ia menyadari hakikat dari corak kenyataan kelompok kehidupan/khanda (sebagai tidak kekal/anicca, tidak memuaskan/dukkha, tidak ada aku/anatta), yang mengkondisikan ia mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian ia tidak lagi pergi ke pohon “guru”.

Melihat hal itu, bhikkhu-bhikkhu lain bertanya kepada Pilotikatissa: “Mengapa engkau tidak pergi menemui gurumu lagi?”

Kepada mereka ia menjawab: “Saat saya membutuhkan, saya akan pergi kepadanya, tapi saat ini saya sudah tidak mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya.”

Saat mendengar jawaban tersebut, bhikkhu-bhikkhu itu membawa Pilotikatissa menghadap Sang Buddha. Saat mereka tiba, mereka memberi hormat kepada Sang Buddha dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini mengaku telah mencapai tingkat kesucian arahat, ia pasti telah berbohong.”

Akan tetapi Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, Pilotikatissa tidak berbohong, ia berkata benar. Walaupun ia mempunyai hubungan baik dengan gurunya saat lalu, namun saat ini ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan gurunya. Pilotikatissa Thera telah memiliki pengertian membedakan penyebab yang benar dan yang salah serta menyadari corak kenyataan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Sekarang ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu ia tidak memiliki hubungan lagi dengan gurunya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 143 dan 144 berikut ini:

Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat,

yang senantiasa waspada,
bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari cemeti.


Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik,

walaupun sekali saja merasakan cambukan,
segera menjadi bersemangat dan berlari cepat,
demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan, memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar,
dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran,
akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.


Selasa, 10 Mei 2016

Dhammapada Atthakata 143 - Kisah Pilotikatissa Thera


Suatu saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang berpakaian buruk berjalan meminta makanan. Beliau merasa iba melihat pemuda tersebut, dan mengajaknya menjadi seorang samanera. Samanera muda tersebut meninggalkan pakaian dan mangkuknya pada sebuah dahan pohon. Ketika ditahbis menjadi seorang bhikkhu ia dikenal dengan nama Pilotikatissa.
Sebagai seorang bhikkhu, ia tidak kekurangan makanan dan pakaian. Namun pada suatu saat ia merasa tidak bahagia hidup sebagai seorang bhikkhu dan berkeinginan kembali hidup sebagai umat biasa. Ketika perasaannya timbul, ia pergi ke pohon dimana ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya.

Ketika sampai di sana, timbul pertanyaan dalam hatinya, “Oh, orang tak tahu malu, apakah engkau mau meninggalkan kedamaian demi pakaian dan mangkuk? Apakah engkau masih mau memakai pakaian kotor dan mangkuk tua di tanganmu?” Kemudian ia memarahi diri sendiri. Setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara.

Dua atau tiga hari setelah kejadian tersebut, perasaan itu timbul kembali. Ia kemudian pergi ke pohon itu kembali dan bertanya pada dirinya sendiri perihal pertanyaan yang sama. Seperti kejadian pertama, ia memarahi dirinya sendiri dan setelah menenangkan diri, ia kembali ke vihara. Kejadian ini terulang beberapa kali.

Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepadanya, mengapa ia sering pergi ke pohon tersebut, ia memberitahu mereka bahwa ia pergi menemui gurunya (dianggap sebagai “guru”, karena membuat ia malu dan kembali ke jalan yang benar).

Dengan tetap memikirkan pakaian dan mangkuk sebagai objek meditasi, ia menyadari hakikat dari corak kenyataan kelompok kehidupan/khanda (sebagai tidak kekal/anicca, tidak memuaskan/dukkha, tidak ada aku/anatta), yang mengkondisikan ia mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian ia tidak lagi pergi ke pohon “guru”.

Melihat hal itu, bhikkhu-bhikkhu lain bertanya kepada Pilotikatissa: “Mengapa engkau tidak pergi menemui gurumu lagi?”

Kepada mereka ia menjawab: “Saat saya membutuhkan, saya akan pergi kepadanya, tapi saat ini saya sudah tidak mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya.”
Saat mendengar jawaban tersebut, bhikkhu-bhikkhu itu membawa Pilotikatissa menghadap Sang Buddha. Saat mereka tiba, mereka memberi hormat kepada Sang Buddha dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini mengaku telah mencapai tingkat kesucian arahat, ia pasti telah berbohong.”

Akan tetapi Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, Pilotikatissa tidak berbohong, ia berkata benar. Walaupun ia mempunyai hubungan baik dengan gurunya saat lalu, namun saat ini ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan gurunya. Pilotikatissa Thera telah memiliki pengertian membedakan penyebab yang benar dan yang salah serta menyadari corak kenyataan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Sekarang ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu ia tidak memiliki hubungan lagi dengan gurunya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 143 dan 144 berikut ini:

Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat,

yang senantiasa waspada,
bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari cemeti.


Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik,

walaupun sekali saja merasakan cambukan,
segera menjadi bersemangat dan berlari cepat,
demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan, memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar,
dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran,
akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.



Minggu, 08 Mei 2016

Dhammapada Atthakata 142 - Kisah Menteri Santati


Suatu ketika Menteri Santati berhasil kembali dari penumpasan pemberontak di perbatasan. Raja Pasenadi begitu bangga terhadapnya, memberi kekayaan dan kegemilangan kepada menterinya serta mengadakan pesta selama 7 hari dengan para gadis penari. Selama tujuh hari menteri itu bersenang-senang, bermabuk-mabukan, dan bergembira dengan gadis-gadis penari muda belia.

Pada hari ketujuh, dengan menunggang gajah kerajaan, dia pergi mandi ke tepi sungai. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Sang Buddha yang sedang berpindapatta.
Santati menganggukkan badannya sebagai tanda menberi hormat kepada Sang Buddha.
Sang Buddha tersenyum, dan Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum. Lalu Sang Buddha berkata, “Ananda, menteri ini akan menemuiku hari ini, dan setelah aku memberikan sedikit pelajaran, dia akan mencapai tingkat kesucian arahat dan kemudian dia akan meninggal dunia (parinibbana).”

Pesta Menteri Santati berlangsung sepanjang hari di tepi sungai, mandi, makan minum dan menyenangkan hati mereka. Pada sore hari pestanya berlangsung di taman, minum lebih banyak dan menari dengan gadis penari.

Gadis penari mencoba untuk menyenangkan menteri, selama seminggu gadis penari melakukan diet makan agar tampak menarik. Akan tetapi pada saat menari, dia terserang kejang-kejang dan pingsan. Akhirnya dia meninggal dunia dengan mata dan mulut yang terbuka. Menteri itu tertekan batinnya dan kecewa berat.

Pada saat itu ia memerlukan perlindungan dan teringat kepada Sang Buddha. Dia pergi menemui Sang Buddha bersama dengan pengikut-pengikutnya, dan menceritakan penderitaan yang mereka alami setelah terjadi kematian gadis penarinya.
Dia berkata, “Bhante, tolong hilangkan penderitaanku, jadilah pelindungku, berikan ketenangan di hatiku.”

Kepadanya Sang Budha berkata, “Istirahatlah anakku, engkau telah datang kepada seseorang yang dapat menolongmu, seseorang yang dapat menghiburmu dan menjadi pelindungmu. Air mata yang telah engkau tumpahkan pada saat penari itu meninggal dunia, bersamaan dengan air mata selama kelahiran kembali yang berulang-ulang lebih banyak jumlahnya daripada air yang terdapat dalam samudera.”
Sang Buddha kemudian mengucapkan syair ini:

“Pada saat lampau terdapat dalam dirimu kemelekatan (upadana) yang disebabkan keserakahan; lenyapkanlah hal itu. Pada saat mendatang, janganlah bawa kemelekatan dalam dirimu. Jangan pula menempatkan kemelekatan terhadap apapun pada saat sekarang; dengan tidak memiliki kemelekatan, keserakahan dan kebencian akan lenyap dalam dirimu, dan engkau akan merealisasi “Kebebasan Mutlak” (nibbana).”

Setelah mendengar syair itu, menteri mencapai tingkat kesucian arahat.
Setelah mengetahui bahwa usia kehidupannya akan berakhir, Santati berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, sekarang izinkanlah saya merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana), karena saatnya telah tiba.”

Sang Buddha merestuinya, kemudian Santati terbang setinggi tujuh pohon palm di angkasa dan di sana Santati bermeditasi dengan objek perwujudan api (tejo kasina), akhirnya beliau merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana). Tubuhnya berkobar, darahnya dan daging menguap terbakar, dan tulangnya menjadi relik (dhatu) beterbangan di angkasa dan terjatuh pada sehelai kain bersih yang telah direntangkan oleh para bhikkhu atas petunjuk Sang Buddha.

Pada saat pertemuan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante, Menteri Santati telah merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana) dengan berpakaian penuh tanda-tanda kebesaran, apakah dia seorang samana atau brahmana?”

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, anakku dapat disebut, baik seorang samana atau pun seorang brahmana.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 142 berikut:

Walau digoda dengan cara bagaimanapun,

tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain,

sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.

Jumat, 06 Mei 2016

Dhammapada Atthakata 141 - Kisah Bhikkhu Bahubhandika


Seorang pria yang kaya di Savatthi setelah kematian istrinya mengambil keputusan untuk menjadi seorang bhikkhu. Sebelum dia menjadi bhikkhu, dia mendirikan sebuah vihara, termasuk dapur dan ruang penyimpanan. Dia juga membawa perabotan, beras, minyak, mentega, dan berbagai kebutuhan sehari-harinya. Apa pun yang dia kehendaki, pelayan-pelayan akan memenuhinya. Jadi meskipun dia hidup sebagai bhikkhu, dia hidup dengan berlebihan dan memiliki berbagai macam harta sehingga beliau dikenal dengan nama “Bahubhandika”.

Suatu hari bhikkhu-bhikkhu lain membawanya menghadap Sang Buddha dan kemudian menceritakan kehidupan Bhikkhu Bahubhandikka yang penuh dengan kemewahan sebagai mana layaknya kehidupan orang kaya.

Sang Buddha mengatakan kepada Bahubhandika, “Anakku, Aku mengajarkan tentang kehidupan yang sederhana, mengapa engkau membawa begitu banyak harta milikmu?”
Ketika mendapat teguran ini dia marah dan berkata, “Bhante, aku akan hidup sebagai mana kehendak-Mu.” Kemudian dia melepas dan membuang jubah atasnya.

Melihat hal tersebut, Sang Buddha mengatakan kepada Bahubhandika, “Anakku, pada kehidupan yang lampau engkau adalah raksasa, meskipun sebagai raksasa tetapi engkau memiliki rasa takut dan malu berbuat jahat. Akan tetapi sekarang engkau menjadi bhikkhu dalam ajaran-Ku, mengapa engkau membuang semua rasa malu dan takut berbuat jahat itu?”

Mendengar kata-kata itu, dia menjadi sadar akan kesalahannya. Rasa malu dan takutnya muncul kembali. Ia memberi hormat kepada Sang Buddha serta meminta maaf,
Kemudian Sang Buddha berkata, “Berdiri di situ tanpa jubah atas adalah tidak pantas, membuang jubah tidak membuat engkau menjadi bhikkhu yang sederhana, seorang bhikkhu juga harus menghilangkan keragu-raguannya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 141 berikut:

Bukan dengan cara telanjang, rambut dijalin, badan kotor berlumpur, berpuasa, berbaring di tanah, melumuri tubuh dengan debu, ataupun berjongkok di atas tumit,
seseorang yang belum bebas dari keragu-raguan dapat mensucikan diri.


Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma 


Rabu, 04 Mei 2016

Dhammapada Atthakata 140 - Kisah Maha Moggallana Thera


Suatu saat petapa Nigantaha merencanakan untuk membunuh Maha Moggallana Thera dengan tujuan akan menghilangkan kemashuran dan keberuntungan Sang Buddha. Mereka menyewa para perampok untuk membunuh Maha Moggallana yang kala itu berdiam di Kalasila dekat Rajagaha.

Perampok itu mengepung vihara tempat Maha Moggallana Thera berdiam, tetapi Maha Moggallana dengan kemampuan batin luar biasanya dapat menghilang, sehingga mereka tidak dapat menangkap Maha Moggallana dalam waktu dua bulan.

Ketika para perampok kembali mengepung vihara pada bulan ketiga, Maha Moggallana Thera mengetahui bahwa ia harus menerima akibat perbuatan (kamma) jahat yang dilakukannya pada salah satu kehidupan lampaunya, maka beliau tidak menggunakan kelebihan batinnya, sehingga para perampok berhasil menangkap dan menganiayanya dengan kejam. Setelah itu tubuhnya dibuang ke semak-semak, karena dianggap telah menjadi mayat.

Dengan kekuatan batin/jhananya, Maha Moggallana dapat bangkit kembali dan pergi menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Tetapi Maha Moggallana juga menyadari akibat dari penganiayaan yang dideritanya, beliau tidak akan dapat hidup lebih lama lagi. Maka beliau memberitahu Sang Buddha bahwa beliau akan segera meninggal dunia (parinibbana) di Kalasila.

Sang Buddha kemudian menganjurkan agar beliau membabarkan Dhamma terlebih dahulu sebelum parinibbana. Maha Moggallana membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, setelah itu bersujud (namaskara) kepada Sang Buddha sebanyak tujuh kali.

Berita wafatnya Maha Moggallana Thera di tangan para perampok menyebar bagaikan kobaran api. Raja Ajatasattu menyuruh orang-orangnya agar menyelidiki hal ini, mereka berhasil menangkap para perampok dan menghukum mati dengan cara membakarnya.

Para bhikkhu mendengar wafatnya Maha Moggallana Thera sangat sedih dan tidak mengerti mengapa orang seperti beliau meninggal dunia di tangan para perampok.

Kepada mereka Sang Buddha kemudian mengatakan, “Para bhikkhu pada kehidupan saat ini beliau hidup dengan kemuliaan sehingga beliau tidak akan mengalami kematian lagi. Akan tetapi pada kehidupan yang lampau ia telah melakukan kejahatan besar terhadap kedua orang tuanya yang buta kedua-duanya. Pada awalnya beliau adalah seorang anak berbakti, tetapi setelah ia menikah, istrinya membuat permasalahan, istrinya mendorong agar ia berpisah dengan orang tuanya. Kemudian ia membawa kedua orang tuanya yang buta pergi ke hutan dengan pedati, di sana kedua orang tuanya dibunuh dengan cara dipukul. Sebelumnya, dengan tipu muslihat ia meyakinkan kedua orang tuanya, seolah-olah mereka akan dibunuh oleh penjahat. Untuk perbuatan jahat yang dilakukannya ini, ia telah menderita di alam neraka untuk waktu lama, dan pada kehidupan saat ini beliau harus mengalami kematian di tangan perampok. Tentunya dengan melakukan perbuatan jahat terhadap mereka yang tidak jahat, seseorang pasti akan menderita karenanya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 137, 138, 139, dan 140 berikut ini:

Seseorang yang menghukum mereka yang tidak patut dihukum dan tidak bersalah,

akan segera memperoleh salah satu di antara sepuluh keadaan berikut:

Ia akan mengalami penderitaan hebat, kecelakaan, luka berat, sakit berat, atau bahkan hilang ingatan.
Atau ditindak oleh raja,

atau mendapat tuduhan yang berat,
atau kehilangan sanak saudara,
atau harta kekayaannya habis.

Atau rumahnya musnah terbakar,

dan setelah tubuhnya hancur,
orang bodoh ini akan terlahir kembali di alam neraka.



Senin, 02 Mei 2016

Dhammapada Atthakata 139 - Kisah Maha Moggallana Thera


Suatu saat petapa Nigantaha merencanakan untuk membunuh Maha Moggallana Thera dengan tujuan akan menghilangkan kemashuran dan keberuntungan Sang Buddha. Mereka menyewa para perampok untuk membunuh Maha Moggallana yang kala itu berdiam di Kalasila dekat Rajagaha.

Perampok itu mengepung vihara tempat Maha Moggallana Thera berdiam, tetapi Maha Moggallana dengan kemampuan batin luar biasanya dapat menghilang, sehingga mereka tidak dapat menangkap Maha Moggallana dalam waktu dua bulan.

Ketika para perampok kembali mengepung vihara pada bulan ketiga, Maha Moggallana Thera mengetahui bahwa ia harus menerima akibat perbuatan (kamma) jahat yang dilakukannya pada salah satu kehidupan lampaunya, maka beliau tidak menggunakan kelebihan batinnya, sehingga para perampok berhasil menangkap dan menganiayanya dengan kejam. Setelah itu tubuhnya dibuang ke semak-semak, karena dianggap telah menjadi mayat.

Dengan kekuatan batin/jhananya, Maha Moggallana dapat bangkit kembali dan pergi menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Tetapi Maha Moggallana juga menyadari akibat dari penganiayaan yang dideritanya, beliau tidak akan dapat hidup lebih lama lagi. Maka beliau memberitahu Sang Buddha bahwa beliau akan segera meninggal dunia (parinibbana) di Kalasila.

Sang Buddha kemudian menganjurkan agar beliau membabarkan Dhamma terlebih dahulu sebelum parinibbana. Maha Moggallana membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, setelah itu bersujud (namaskara) kepada Sang Buddha sebanyak tujuh kali.

Berita wafatnya Maha Moggallana Thera di tangan para perampok menyebar bagaikan kobaran api. Raja Ajatasattu menyuruh orang-orangnya agar menyelidiki hal ini, mereka berhasil menangkap para perampok dan menghukum mati dengan cara membakarnya.

Para bhikkhu mendengar wafatnya Maha Moggallana Thera sangat sedih dan tidak mengerti mengapa orang seperti beliau meninggal dunia di tangan para perampok.

Kepada mereka Sang Buddha kemudian mengatakan, “Para bhikkhu pada kehidupan saat ini beliau hidup dengan kemuliaan sehingga beliau tidak akan mengalami kematian lagi. Akan tetapi pada kehidupan yang lampau ia telah melakukan kejahatan besar terhadap kedua orang tuanya yang buta kedua-duanya. Pada awalnya beliau adalah seorang anak berbakti, tetapi setelah ia menikah, istrinya membuat permasalahan, istrinya mendorong agar ia berpisah dengan orang tuanya. Kemudian ia membawa kedua orang tuanya yang buta pergi ke hutan dengan pedati, di sana kedua orang tuanya dibunuh dengan cara dipukul. Sebelumnya, dengan tipu muslihat ia meyakinkan kedua orang tuanya, seolah-olah mereka akan dibunuh oleh penjahat. Untuk perbuatan jahat yang dilakukannya ini, ia telah menderita di alam neraka untuk waktu lama, dan pada kehidupan saat ini beliau harus mengalami kematian di tangan perampok. Tentunya dengan melakukan perbuatan jahat terhadap mereka yang tidak jahat, seseorang pasti akan menderita karenanya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 137, 138, 139, dan 140 berikut ini:

Seseorang yang menghukum mereka yang tidak patut dihukum dan tidak bersalah,

akan segera memperoleh salah satu di antara sepuluh keadaan berikut:

Ia akan mengalami penderitaan hebat, kecelakaan, luka berat, sakit berat, atau bahkan hilang ingatan.
Atau ditindak oleh raja,

atau mendapat tuduhan yang berat,
atau kehilangan sanak saudara,
atau harta kekayaannya habis.

Atau rumahnya musnah terbakar,

dan setelah tubuhnya hancur,
orang bodoh ini akan terlahir kembali di alam neraka.



DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA