Laman

Jumat, 31 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 40 - Kisah Lima Ratus Bhikkhu


Lima ratus bhikkhu yang berasal dari Savatthi, setelah memperoleh cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, mengadakan perjalanan sejauh seratus yojana dari Savatthi dan tiba pada sebuah hutan yang besar, suatu tempat yang cocok untuk melaksanakan meditasi. Banyak makhluk halus yang berdiam pada pohon-pohon di hutan tempat para bhikkhu tinggal, para makhluk halus itu merasa tidak sesuai berdiam di pohon bersama-sama mereka.

Para makhluk halus itu kemudian turun dari pohon dan berpikir, “Ah, para bhikkhu itu hanya bermeditasi untuk satu malam saja. Biarlah aku mengalah dan menyingkir dari pohon.” Tetapi, sampai dini hari, para bhikkhu itu belum pergi juga.

“Celaka, jangan-jangan para bhikkhu itu akan tinggal di sini sampai akhir masa vassa. Maka aku dan keluargaku terpaksa harus tinggal di tanah dalam waktu yang lama.” Pikir makhluk-makhluk halus itu lagi. Mereka segera berunding dan memutuskan untuk menakut-nakuti para bhikkhu tersebut pada malam harinya, dengan membuat suara-suara dan hal-hal aneh yang menakutkan. Mereka memperlihatkan tubuh tanpa kepala, kepala tanpa tubuh, kerangka-kerangka yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya.
Bhikkhu-bhikkhu sangat terganggu dengan tingkah laku mereka dan akhirnya meninggalkan tempat itu, kembali menghadap Sang Buddha, serta menceritakan segala yang terjadi.

Setelah mendengarkan laporan mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu terjadi karena mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Mereka harus kembali ke hutan itu dengan membawa sesuatu yang sesuai (cinta kasih). Kemudian Sang Buddha mengajarkan “Metta Sutta” (Sutta Pengembangan Cinta Kasih) kepada mereka, diawali dengan syair berikut:

Karaniyamattha kusalena
Yantam santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suhuju ca
Suvaco c’assa mudu anatimani dst.


Hal-hal inilah yang perlu dilakukan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan dan bermanfaat mencapai ketenangan sempurna (Nibbana).
Ia harus tepat guna, jujur, sungguh jujur, rendah hati, lemah lembut, tiada sombong, dst.

Bhikkhu-bhikkhu diharapkan untuk mengulang kembali sutta itu pada saat mereka tiba di pinggir hutan dan berada di vihara.
Para bhikkhu pergi kembali ke hutan dan melakukan pesan Sang Buddha. Makhluk halus penunggu pohon mendapat pancaran cinta kasih dari bhikkhu-bhikkhu.

Mengetahui bahwa para bhikkhu sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka, para makhluk halus membalas dengan menyambut selamat datang dan tidak mengganggu lagi. Di hutan itu tidak ada lagi suara-suara dan penglihatan-penglihatan yang aneh. Dalam suasana damai bhikkhu-bhikkhu bermeditasi dengan objek tubuh jasmani, dan mereka memperoleh perealisasian bahwa tubuh ini rapuh dan tidak kekal keberadaannya.
Dari Vihara Jetavana, Sang Buddha, dengan kekuatan batinnya, mengetahui kemajuan batin bhikkhu-bhikkhu itu dan mengirimkan cahaya agar membuat mereka merasakan kehadiran beliau.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, seperti apa yang kalian telah realisasikan, tubuh ini sungguh-sungguh tidak kekal dan rapuh seperti sebuah tempayan tanah.” 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 40 berikut:

Dengan mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan,
hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota,
dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan.
Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya,
dan hidup tanpa ikatan lagi.


Lima ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Kamis, 30 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 39 - Kisah Cittahattha Thera


Seorang laki-laki yang berasal dari Savatthi, ketika mengetahui lembu jantannya hilang, mencarinya ke dalam hutan. Yang dicari tidak juga diketemukan. Akhirnya ia merasa lelah dan sangat lapar. Ia singgah ke sebuah vihara desa, dengan harapan di situ ia akan mendapatkan sisa dari makanan pagi.
Pada saat makan, terpikir olehnya bahwa ia bekerja sangat keras setiap hari tetapi tidak mendapatkan cukup makanan. Para bhikkhu itu kelihatannya tak pernah bekerja, tetapi selalu mendapat makanan yang cukup. Bahkan berlebih. Maka muncul sebuah ide yang baik untuk menjadi seorang bhikkhu
Kemudian ia bertanya kepada para bhikkhu untuk memperoleh izin memasuki pasamuan Sangha. Saat di vihara laki-laki itu melakukan tugas-tugasnya sebagai seorang bhikkhu dan di vihara terdapat banyak makanan, sehingga ia segera menjadi gemuk.

Sesudah beberapa waktu, ia bosan berpindapatta dan kembali pada kehidupan berumah tangga.
Beberapa waktu kemudian, ia merasa bahwa kehidupannya di rumah terlalu sibuk dan ia kembali ke vihara untuk diizinkan menjadi seorang bhikkhu untuk kedua kalinya.
Untuk kedua kalinya, ia meninggalkan pasamuan Sangha dan kembali menjadi perumah tangga.
Lagi, ia pergi ke vihara untuk ketiga kalinya dan kemudian lepas jubah lagi.
Proses ini terjadi enam kali, dan karena ia melakukan hanya menuruti kemauannya saja, maka ia dikenal sebagai Cittahattha Thera.

Pada saat pulang balik antara rumahnya dan vihara, istrinya hamil. Sebenarnya ia belum siap menjadi bhikkhu, ia memasuki pasamuan bhikkhu hanya karena kesenangannya saja. Jadi, ia tidak pernah berbahagia, baik sebagai perumah tangga, maupun sebagai seorang bhikkhu.
Suatu hari, saat hari terakhir tinggal di rumah, ia masuk ke kamar tidur pada saat istrinya sedang tidur. Istrinya hampir telanjang, memakai pakaian yang sebagian terjulai jatuh. Istrinya juga mengorok dengan suara keras melalui hidung dan dari mulutnya keluar lendir dan ludah. Jadi dengan mulut yang terbuka dan perut yang gembung, ia terlihat hanya seperti mayat. Melihat keadaan istrinya, ia tiba-tiba merasa ketidakkekalan dan ketidakindahan tubuh jasmani, dan ia membayangkan: “Saya telah menjadi seorang bhikkhu beberapa kali dan hal ini hanya dikarenakan perempuan ini, yang menjadikan saya tidak dapat menjadi seorang bhikkhu…..”

Kemudian ia mengambil jubah kuningnya, dan pergi meninggalkan rumahnya pergi ke vihara untuk ke tujuh kalinya. Karena ia dalam perjalanan mengulangi kata-kata “tidak kekal” dan “penderitaan” (anicca dan dukkha) dan dapat meresapi artinya, ia mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam perjalanan ke vihara.
Setelah tiba di vihara ia berkata kepada para bhikkhu agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha. Para bhikkhu menolak dan berkata, “Kami tidak dapat mengizinkanmu lagi menjadi seorang bhikkhu. Kamu berulangkali mencukur rambut kepalamu sehingga kepalamu seperti sebuah batu yang diasah.”
Masih ia memohon dengan amat sangat agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha sekali ini dan mereka memenuhinya. Dalam beberapa hari, bhikkhu Cittahattha mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis.

Bhikkhu lain kagum melihat dia sekarang dapat tetap tinggal dalam jangka waktu lama di vihara. Mereka bertanya apa sebabnya? Terhadap hal itu, beliau menjawab, “Saya pulang ke rumah ketika saya masih memiliki kemelekatan dalam diri saya, tetapi kemelekatan itu sekarang telah terpotong.”
Bhikkhu-bhikkhu yang tidak percaya kepadanya, menghadap Sang Buddha dan melaporkan hal itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Bhikkhu Cittahattha telah berbicara benar, ia berpindah-pindah antara rumah dan vihara, karena waktu itu pikirannya tidak mantap dan tidak mengerti Dhamma. Tetapi pada saat ini, Cittahattha telah menjadi seorang arahat, ia telah mengatasi kebaikan dan kejahatan.”

Kemudian sang Buddha membabarkan syair 38 dan 39 berikut ini:

Orang yang pikirannya tidak teguh,
yang tidak mengenal ajaran yang benar,
yang keyakinannya selalu goyah,
orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.

Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian,
yang telah mengatasi keadaan baik dan buruk,
di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.



Rabu, 29 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 38 - Kisah Cittahattha Thera


Seorang laki-laki yang berasal dari Savatthi, ketika mengetahui lembu jantannya hilang, mencarinya ke dalam hutan. Yang dicari tidak juga diketemukan. Akhirnya ia merasa lelah dan sangat lapar. Ia singgah ke sebuah vihara desa, dengan harapan di situ ia akan mendapatkan sisa dari makanan pagi.
Pada saat makan, terpikir olehnya bahwa ia bekerja sangat keras setiap hari tetapi tidak mendapatkan cukup makanan. Para bhikkhu itu kelihatannya tak pernah bekerja, tetapi selalu mendapat makanan yang cukup. Bahkan berlebih. Maka muncul sebuah ide yang baik untuk menjadi seorang bhikkhu
Kemudian ia bertanya kepada para bhikkhu untuk memperoleh izin memasuki pasamuan Sangha. Saat di vihara laki-laki itu melakukan tugas-tugasnya sebagai seorang bhikkhu dan di vihara terdapat banyak makanan, sehingga ia segera menjadi gemuk.

Sesudah beberapa waktu, ia bosan berpindapatta dan kembali pada kehidupan berumah tangga.
Beberapa waktu kemudian, ia merasa bahwa kehidupannya di rumah terlalu sibuk dan ia kembali ke vihara untuk diizinkan menjadi seorang bhikkhu untuk kedua kalinya.
Untuk kedua kalinya, ia meninggalkan pasamuan Sangha dan kembali menjadi perumah tangga.
Lagi, ia pergi ke vihara untuk ketiga kalinya dan kemudian lepas jubah lagi.
Proses ini terjadi enam kali, dan karena ia melakukan hanya menuruti kemauannya saja, maka ia dikenal sebagai Cittahattha Thera.

Pada saat pulang balik antara rumahnya dan vihara, istrinya hamil. Sebenarnya ia belum siap menjadi bhikkhu, ia memasuki pasamuan bhikkhu hanya karena kesenangannya saja. Jadi, ia tidak pernah berbahagia, baik sebagai perumah tangga, maupun sebagai seorang bhikkhu.
Suatu hari, saat hari terakhir tinggal di rumah, ia masuk ke kamar tidur pada saat istrinya sedang tidur. Istrinya hampir telanjang, memakai pakaian yang sebagian terjulai jatuh. Istrinya juga mengorok dengan suara keras melalui hidung dan dari mulutnya keluar lendir dan ludah. Jadi dengan mulut yang terbuka dan perut yang gembung, ia terlihat hanya seperti mayat. Melihat keadaan istrinya, ia tiba-tiba merasa ketidakkekalan dan ketidakindahan tubuh jasmani, dan ia membayangkan: “Saya telah menjadi seorang bhikkhu beberapa kali dan hal ini hanya dikarenakan perempuan ini, yang menjadikan saya tidak dapat menjadi seorang bhikkhu…..”

Kemudian ia mengambil jubah kuningnya, dan pergi meninggalkan rumahnya pergi ke vihara untuk ke tujuh kalinya. Karena ia dalam perjalanan mengulangi kata-kata “tidak kekal” dan “penderitaan” (anicca dan dukkha) dan dapat meresapi artinya, ia mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam perjalanan ke vihara.
Setelah tiba di vihara ia berkata kepada para bhikkhu agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha. Para bhikkhu menolak dan berkata, “Kami tidak dapat mengizinkanmu lagi menjadi seorang bhikkhu. Kamu berulangkali mencukur rambut kepalamu sehingga kepalamu seperti sebuah batu yang diasah.”
Masih ia memohon dengan amat sangat agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha sekali ini dan mereka memenuhinya. Dalam beberapa hari, bhikkhu Cittahattha mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis.

Bhikkhu lain kagum melihat dia sekarang dapat tetap tinggal dalam jangka waktu lama di vihara. Mereka bertanya apa sebabnya? Terhadap hal itu, beliau menjawab, “Saya pulang ke rumah ketika saya masih memiliki kemelekatan dalam diri saya, tetapi kemelekatan itu sekarang telah terpotong.”
Bhikkhu-bhikkhu yang tidak percaya kepadanya, menghadap Sang Buddha dan melaporkan hal itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Bhikkhu Cittahattha telah berbicara benar, ia berpindah-pindah antara rumah dan vihara, karena waktu itu pikirannya tidak mantap dan tidak mengerti Dhamma. Tetapi pada saat ini, Cittahattha telah menjadi seorang arahat, ia telah mengatasi kebaikan dan kejahatan.”

Kemudian sang Buddha membabarkan syair 38 dan 39 berikut ini:

Orang yang pikirannya tidak teguh,
yang tidak mengenal ajaran yang benar,
yang keyakinannya selalu goyah,
orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.

Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian,
yang telah mengatasi keadaan baik dan buruk,
di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.



Selasa, 28 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 37 - Kisah Samgharakkhita Thera


Suatu hari, tinggallah di Savatti, seorang bhikkhu senior yang bernama Samgharakkhita. Ketika kakak perempuannya melahirkan anak laki-laki, ia memberi nama anaknya Samgharakkhita Bhagineyya. Keponakan Samgharakkhita, pada waktu itu, juga memasuki pasamuan sangha.

Ketika bhikkhu muda tinggal di suatu vihara desa, ia diberi dua buah jubah, dan ia bermaksud memberikan satu jubah kepada pamannya, Samgharakkhita Thera. Akhir masa vassa, bhikkhu muda itu pergi ke pamannya untuk memberi hormat kepadanya dan memberikan jubah. Tetapi pamannya menolak untuk menerima jubah itu, dan berkata bahwa ia sudah mempunyai cukup. Walaupun bhikkhu muda mengulangi lagi permintaannya, pamannya tetap tidak mau. Bhikkhu muda itu merasa sakit hati dan berpikir bahwa sejak saat itu pamannya tidak sudi untuk berbagi kebutuhan dengannya. Akan lebih baik baginya untuk meninggalkan pasamuan Sangha dan hidup sebagai seorang perumah tangga.

Dari masalah itu, pikirannya mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Ia berpikir bahwa setelah meninggalkan pasamuan Sangha, ia akan menjual jubahnya dan membeli seekor kambing betina. Kambing betina itu akan segera melahirkan anak. Anak-anak kambing dijual dan segera ia akan mempunyai uang cukup untuk menikah. Istrinya akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia akan membawa istri dan anaknya dengan sebuah kereta kecil untuk mengunjungi pamannya di vihara. Dalam perjalanan, ia akan berkata bahwa ia akan menggendong anaknya. Tetapi istrinya berkata kepadanya agar ia mengendarai kereta saja dan jangan mengurusi anak. Ia bersikeras dan merebut anak dari istrinya. Sewaktu terjadi perebutan, anak itu terjatuh dan terlindas roda kereta. Dengan marah ia memukul istrinya dengan cemeti.

Pada saat itu ia membelakangi pamannya dengan memegang kipas daun palm dan ia dengan tidak sengaja memukul kepala pamannya dengan kipasnya. Samgharakkhita tua mengetahui pikiran bhikkhu muda itu dan berkata, “Kamu tidak sanggup menghajar istrimu; mengapa kamu menghajar seorang bhikkhu tua?” Samgharakkhita muda sangat terkejut dan malu atas kata-kata bhikkhu tua itu. Ia juga menjadi sangat ketakutan dan kemudian melarikan diri. Bhikkhu-bhikkhu muda lainnya dan penjaga vihara mengejarnya dan akhirnya membawanya kehadapan Sang Buddha.

Ketika membicarakan seluruh kisah bhikkhu muda itu, Sang Buddha berkata bahwa pikiran memiliki kemampuan untuk berpikir pada suatu objek yang berkepanjangan, dan seseorang seharusnya berusaha keras untuk bebas dari belenggu keinginan, kebencian, dan kegelapan bathin.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 37 berikut ini:

Pikiran itu selalu mengembara jauh,
tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati.
Mereka yang dapat mengendalikannya,
akan bebas dari jeratan Mara.


Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Senin, 27 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 36 - Kisah Seorang Bhikkhu yang Tidak Puas


Ada seorang pemuda anak seorang bankir bertanya kepada seorang bhikkhu yang menghampiri rumahnya untuk berpindapatta, apakah yang harus dilakukan untuk membebaskan diri dari penderitaan dalam kehidupan saat ini.

Bhikkhu itu menyarankan untuk memisahkan tanahnya dalam tiga bagian. Satu bagian untuk mata pencahariannya, satu bagian untuk menyokong keluarga, dan satu bagian lagi untuk berdana.
Ia melakukan semua petunjuk itu, kemudian pemuda itu menanyakan lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Disarankan lebih lanjut; pertama, berlindung kepada Tiratana dan melaksanakan lima sila; kedua, melaksanakan sepuluh sila; dan ketiga, meninggalkan kehidupan keduniawian dan memasuki Pasamuan Sangha. Pemuda itu menyanggupi semua saran dan menjadi seorang bhikkhu.

Sebagai seorang bhikkhu, ia mendapat pelajaran Abhidhamma dari seorang guru dan vinaya oleh guru lainnya. Selama mendapat pelajaran, ia merasa bahwa Dhamma itu terlalu berat untuk dipelajari, dan peraturan vinaya terlalu keras dan terlalu banyak, sehingga tidak banyak kebebasan, bahkan untuk mengulurkan tangan sekalipun.

Bhikkhu itu berpikir bahwa mungkin lebih baik untuk kembali pada kehidupan berumah tangga. Karena alasan ragu-ragu dan tidak puas, ia menjadi tidak bahagia dan menyia-nyiakan kewajibannya. Dia juga menjadi kurus dan kering.

Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui masalahnya, Beliau berkata, “Jika kamu hanya mengawasi pikiranmu, kamu tidak akan mempunyai apa-apa lagi yang akan diawasi; jadi jagalah pikiranmu sendiri.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 36 berikut:

Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus,
pikiran bergerak sesuka hatinya.
Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya,
seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.


Bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Minggu, 26 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 35 - Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu


Suatu ketika, enam puluh bhikkhu, setelah mendapatkan cara bermeditasi dari Sang Buddha, pergi ke desa Matika, di kaki sebuah gunung. Di sana, Matikamata, ibu dari kepala desa, memberikan dana makanan kepada para bhikkhu; Matikamata juga mendirikan sebuah vihara untuk para bhikkhu bertempat tinggal selama musim hujan.

Suatu hari Matikamata bertanya kepada para bhikkhu perihal cara-cara bermeditasi. Bhikkhu-bhikkhu itu mengajarkan kepadanya bagaimana cara bermeditasi dengan tiga puluh dua unsur bagian tubuh untuk menyadari kerapuhan dan kehancuran tubuh. Matikamata melaksanakannya dengan rajin dan mencapai tiga magga dan phala bersamaan dengan pandangan terang analitis dan kemampuan batin luar biasa, sebelum para bhikkhu itu mencapainya.

Dengan munculnya berkah magga dan phala, ia dapat melihat dengan mata batin (dibbacakkhu). Ia mengetahui para bhikkhu itu belum mencapai magga. Ia juga tahu bahwa bhikkhu-bhikkhu itu mempunyai cukup potensi untuk mencapai arahat, tetapi mereka memerlukan makanan yang cukup dan penuh gizi, karena tubuh yang lemah akan mempengaruhi pikiran untuk berkonsentrasi.
Maka, Matikamata menyediakan makanan pilihan untuk mereka. Dengan makan makanan yang sesuai dan pengendalian yang benar, para bhikkhu dapat mengembangkan konsentrasinya dengan benar dan akhirnya mencapai arahat.

Akhir musim hujan, para bhikkhu kembali ke vihara Jetavana, tempat bersemayam Sang Buddha. Mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa mereka semua dalam keadaan kesehatan yang baik dan menyenangkan, mereka sudah tidak khawatir perihal makanan. Mereka juga menceritakan Matikamata mengetahui pikiran mereka dan menyediakan serta memberi mereka banyak makanan yang sesuai.
Seorang bhikkhu, yang mendengar pembicaraan mereka tentang Matikamata, memutuskan untuk melakukan hal yang sama pergi ke desa itu. Setelah memperoleh cara-cara meditasi dari Sang Buddha, ia tiba di vihara desa. Di sana, ia menemukan bahwa segala yang diharapkannya sudah dikirim oleh Matikamata, umat yang dermawan.

Ketika bhikkhu itu mengharap Matikamata datang, ia datang ke vihara, dengan pilihan banyak makanan. Sesudah makan, bhikkhu itu bertanya kepada Matikamata apakah ia bisa membaca pikiran orang lain. Matikamata mengelak dengan pertanyaan balasan. “Orang yang dapat membaca pikiran orang lain berkelakuan semakin jauh dari “Sang Jalan”.”
Dengan terkejut bhikkhu itu berpikir, “Mungkinkah saya, berkelakuan seperti perumah tangga yang terikat pikiran tidak suci, dan sungguh-sungguh mengetahuinya?” Bhikkhu itu khawatir terhadap umat dermawan tersebut dan memutuskan kembali ke Vihara Jetavana.

Ia menyampaikan kepada Sang Buddha bahwa ia tidak dapat tinggal di desa Matika, karena ia khawatir bahwa umat dermawan yang setia itu mungkin melihat ketidak-sucian pikirannya.
Sang Buddha kemudian berkata kepada bhikkhu itu untuk memperhatikan hanya pada satu hal, yaitu mengawasi pikiran. Beliau juga berkata kepada bhikkhu itu untuk kembali ke vihara desa Matika, tidak memikirkan sesuatu yang lain, tetapi hanya pada objek meditasinya.

Bhikkhu tersebut kembali ke desa Matika. Umat dermawan itu tetap memberikan dana makanan yang baik kepadanya seperti yang dilakukannya kepada para bhikkhu lain, dan bhikkhu itu melaksanakan meditasi dengan tanpa rasa khawatir lagi. Dalam jangka waktu yang pendek, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat.

Berkenaan dengan bhikkhu itu, Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

Sukar dikendalikan pikiran yang binal, dan senang mengembara sesuka hatinya.
Adalah baik untuk mengendalikan pikiran,
suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa kebahagiaan.


Para bhikkhu yang berkumpul pada saat itu mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Sabtu, 25 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 34 - Kisah Meghiya Thera


Pada suatu waktu Meghiya Thera menghadap Sang Buddha dan tinggal beberapa waktu di sana. Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah menerima dana makanan, Meghiya Thera tertarik pada suatu hutan mangga yang menyenangkan.

“Hutan ini demikian indah dan tenang, cocok untuk tempat berlatih meditasi”, demikian pikirnya. Setibanya di vihara, ia segera menghadap Sang Buddha dan meminta ijin agar diperbolehkan segera pergi ke sana.
Mulanya, Sang Buddha meminta dia agar menundanya untuk beberapa waktu, karena dengan hanya menyenangi tempat saja tidak akan menolong memajukan meditasi.

Tetapi Meghiya Thera ingin segera pergi, lalu ia mengulangi dan mengulangi lagi permohonannya. Akhirnya Sang Buddha mengatakan agar melakukan apa yang dia inginkan.
Segera Meghiya Thera pergi ke hutan mangga, duduk dibawah pohon dan berlatih meditasi. Tetapi pikirannya berkeliaran terus, tanpa tujuan, dan sukar berkonsentrasi.

Sore harinya, dia kembali dan melapor kepada Sang Buddha mengapa sepanjang waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat dan pikiran kejam (kama vitakka, byapada vitakka, dan vihimsa vitakka).

Atas pertanyaan itu Sang Buddha kemudian membabarkan syair 33 dan 34 berikut ini:

Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap;
pikiran susah dikendalikan dan dikuasai.
Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.

Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke atas tanah,
pikiran itu selalu menggelepar.
Karena itu cengkeraman dari Mara harus ditaklukkan.

Meghiya Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Jumat, 24 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 32 - Kisah Nigamavasitissa


Nigamavasitissa lahir dan dibesarkan di suatu kota dagang kecil dekat Savatthi. Setelah menjadi seorang bhikkhu, dia hidup dengan sederhana, dengan mempunyai hanya sedikit keinginan
Untuk berpindapatta, beliau biasanya pergi ke desa tempat saudaranya tinggal dan mengambil apa yang disediakan untuknya. Nigamavasitissa selalu melewatkan kesempatan menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika Anathapindika dan Raja Pasenadi dari Kosala memberikan dana makanan dalam jumlah besar kepada para bhikkhu, Nigamavasitissa tidak mau pergi ke sana.

Beberapa orang bhikkhu kemudian membicarakan hal tersebut. Bahwa beliau lebih dekat dengan saudara-saudaranya dan tidak memperdulikan orang lain seperti Anathapindika dan Raja Pasenadi, yang ingin berbuat jasa dengan memberikan dana makanan.
Ketika Sang Buddha menerima laporan ini, Beliau mengundang Nigamavasitissa dan menanyakan hal itu.
Bhikkhu Nigamavasitissa dengan penuh hormat, menjelaskan kepada Sang Buddha, bahwa memang benar ia sering mengunjungi desanya, tetapi hanya pada saat berpindapatta. Ketika dia telah mendapatkan makanan yang cukup, dia tidak akan berjalan lebih jauh lagi, dan dia tidak pernah mempersoalkan apakah makanan itu enak atau tidak.

Sang Buddha tidak menegur setelah mendengar penjelasan bhikkhu Nigamavasitissa, bahkan Beliau menghargai tindakannya dan menceritakannya kepada bhikkhu yang lain.
Beliau bahkan menganjurkan kepada murid-muridnya, untuk hidup puas dengan sedikit keinginan, sesuai dengan ajaran Buddha dan para Ariya, dan begitulah semua bhikkhu seharusnya, mencontoh tindakan bhikkhu Tissa dari kota dagang kecil.
Berkenan dengan ini, Beliau menceritakan kisah Raja dari burung nuri.
Pada masa dahulu kala, tinggallah raja burung nuri di lobang sebuah pohon besar yang tumbuh di muara sungai Gangga, dengan sejumlah besar pengikutnya. Ketika buah-buahan telah habis dimakan, semua burung nuri pergi meninggalkan lobang tersebut, kecuali sang raja, yang puas pada apa yang masih tersisa di pohon tersebut.

Sakka, mengetahui hal ini, dan ingin menguji ketulusan hati raja nuri tersebut. Sakka pergi ke pohon tersebut dengan kekuatan supranaturalnya. Kemudian, dengan menyamar sebagai angsa, Sakka dan permaisurinya, Sujata, mengunjungi tempat dimana raja nuri tersebut tinggal dan menanyakan kenapa dia tidak meninggalkan pohon tua tersebut seperti yang telah dilakukan nuri lain; mencari pohon lain yang berbuah lebat.
Raja nuri menjawab, “Karena perasaan terima kasih kepada pohon ini, aku tidak akan meninggalkannya, dan selama aku masih dapat makanan yang cukup, aku tidak akan meninggalkannya. Akan tidak berterima kasih sekali, jika aku meninggalkan pohon ini, meskipun pohon ini akan mati.”

Sakka sangat terkesan dengan jawaban tersebut, dia menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Dia mengambil air dari sungai Gangga dan menyiramkannya di sekitar pohon tersebut. Segera pohon itu menjadi segar kembali; tumbuh kembali dengan cabang-cabang yang rimbun dan hijau, penuh dengan buah.
Sangat bijaksana, meskipun seekor binatang tidak rakus, mereka puas dengan apa yang tersedia. Raja nuri yang ada dalam kisah itu adalah Sang Buddha sendiri; Sakka adalah Anuruddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 32 berikut ini:

Seorang bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan,
dan melihat bahaya dalam kelengahan,
tak akan terperosok lagi,
Ia sudah berada di ambang pintu nibbana.

Tissa Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Kamis, 23 Juli 2015

Dhammapada Atthalatha 33 - Kisah Meghiya Thera


Pada suatu waktu Meghiya Thera menghadap Sang Buddha dan tinggal beberapa waktu di sana. Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah menerima dana makanan, Meghiya Thera tertarik pada suatu hutan mangga yang menyenangkan.

“Hutan ini demikian indah dan tenang, cocok untuk tempat berlatih meditasi”, demikian pikirnya. Setibanya di vihara, ia segera menghadap Sang Buddha dan meminta ijin agar diperbolehkan segera pergi ke sana.
Mulanya, Sang Buddha meminta dia agar menundanya untuk beberapa waktu, karena dengan hanya menyenangi tempat saja tidak akan menolong memajukan meditasi.

Tetapi Meghiya Thera ingin segera pergi, lalu ia mengulangi dan mengulangi lagi permohonannya. Akhirnya Sang Buddha mengatakan agar melakukan apa yang dia inginkan.
Segera Meghiya Thera pergi ke hutan mangga, duduk dibawah pohon dan berlatih meditasi. Tetapi pikirannya berkeliaran terus, tanpa tujuan, dan sukar berkonsentrasi.

Sore harinya, dia kembali dan melapor kepada Sang Buddha mengapa sepanjang waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat dan pikiran kejam (kama vitakka, byapada vitakka, dan vihimsa vitakka).

Atas pertanyaan itu Sang Buddha kemudian membabarkan syair 33 dan 34 berikut ini:

Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap;
pikiran susah dikendalikan dan dikuasai.
Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.
Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke atas tanah,
pikiran itu selalu menggelepar.
Karena itu cengkeraman dari Mara harus ditaklukkan.

Meghiya Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Rabu, 22 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 31 - Kisah Seorang Bhikkhu


Seorang bhikkhu, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, pergi ke hutan untuk bermeditasi. Meskipun dia berlatih dengan sungguh-sungguh, dia hanya memperoleh kemajuan yang sangat kecil. Akibatnya, ia frustasi. Dengan berpikir akan memperoleh petunjuk dari Sang Buddha, dia meninggalkan hutan menuju Vihara Jetavana.

Dalam perjalanannya, dia melewati nyala api yang sangat besar. Dia berlari menuju puncak gunung, dan mencari darimana api tersebut datang. Melihat api yang membakar itu, ia termenung. Pikirnya, seperti api yang membakar habis semuanya, begitu juga pandangan terang akan membakar semua belenggu kehidupan, besar dan kecil.

Sementara itu, dari kamar Harum (Gandhakuti), di Vihara Jetavana, Sang Buddha mengetahui apa yang dipikirkan oleh bhikkhu tersebut. Beliau menampakkan diri dan berkata, “Anak-Ku, engkau berada di jalan pikiran yang benar. Pertahankanlah! Semua makhluk harus membakar belenggu kehidupannya dengan pandangan terang.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 31 berikut ini:

Seorang bhikkhu, yang bergembira dalam kewaspadaan,
dan melihat bahaya dalam kelengahan,
akan maju terus membakar semua rintangan batin,
bagaikan api membakar kayu,
baik yang besar maupun yang kecil.

Bhikkhu tersebut berhasil mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma berakhir.


Selasa, 21 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 30 - Kisah Magha


Suatu waktu, seorang Pangeran Licchavi, bernama Mahali, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Khotbah yang dibabarkan adalah Sakkapanha Suttanta. Sang Buddha menceritakan tentang Sakka yang selalu bersemangat. Mahali kemudian berpikir bahwa Sang Buddha pasti pernah berjumpa dengan Sakka secara langsung. Untuk meyakinkan hal tersebut, dia bertanya kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menjawab, “Mahali, Aku mengenal Sakka, Aku juga mengetahui apa yang menyebabkan dia menjadi Sakka.” Kemudian Beliau bercerita kepada Mahali, bahwa Sakka, raja para dewa, pada kehidupannya yang lampau adalah seorang pemuda yang bernama Magha, tinggal di desa Macala.
Pemuda Magha dan tiga puluh dua temannya pergi untuk membangun jalan dan tempat tinggal. Magha juga bertekad untuk melakukan tujuh kewajiban.

Tujuh kewajiban tersebut adalah:
(1) Dia akan merawat kedua orang tuanya;
(2) Dia akan menghormati orang yang lebih tua;
(3) Dia akan berkata sopan;
(4) Dia akan menghindari membicarakan orang lain;
(5) Dia tidak akan menjadi orang kikir, dia akan menjadi orang yang murah hati;
(6) Dia akan berkata jujur; dan
(7) Dia akan menjaga dirinya untuk tidak mudah marah.

Karena kelakuannya yang baik, dan tingkah lakunya yang benar pada kehidupannya yang lampau, Magha dilahirkan kembali sebagai Sakka, raja para Dewa.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 30 berikut ini:

Dengan menyempurnakan kewaspadaan,
Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa.
Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji, dan kelengahan akan selalu dicela.

Senin, 20 Juli 2015

Dhammapada Athhakatha 29 - Kisah Dua Bhikkhu yang Bersahabat


Dua orang bhikkhu, setelah memperoleh suatu objek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke vihara yang letaknya di dalam hutan.
Salah satu dari mereka lengah, dia menghabiskan waktunya untuk menghangatkan tubuh dengan api dan berbicara pada waktu-malam pertama, dan ini menghabiskan waktunya.
Bhikkhu yang lain dengan rajin mengerjakan tugasnya sebagai bhikkhu. Dia berjalan sambil bermeditasi selama waktu-malam pertama, beristirahat selama waktu-malam terakhir sepanjang malam. Kemudian, karena rajin dan selalu waspada, bhikkhu kedua ini mencapai tingkat kesucian arahat dalam waktu singkat.
Pada akhir masa vassa, keduanya pergi untuk menghormat Sang Buddha, dan Beliau menanyakan bagaimana mereka menghabiskan waktu selama bervassa.

Bhikkhu pemalas dan lengah menjawab, bahwa bhikkhu yang lain hanya menghabiskan waktunya dengan berbaring dan tidur. Sang Buddha kemudian bertanya, “Bagaimana dengan kamu sendiri?” Jawababbya, bahwa dia selalu duduk menghangatkan tubuh dengan api pada waktu-malam pertama, dan kemudian duduk tanpa tidur.

Tetapi Sang Buddha mengetahui dengan baik, bagaimana kedua bhikkhu tersebut telah menghabiskan waktu, maka Beliau berkata kepada bhikkhu yang malas, “Meskipun kamu malas dan lengah, kamu mengatakan bahwa kamu rajin dan selalu waspada, tetapi kamu telah mengatakan bahwa bhikkhu yang lain kelihatan malas dan lengah, meskipun dia rajin dan selalu waspada. Kamu seperti seekor kuda yang lemah dan lamban dibandingkan dengan anak-Ku yang seperti kuda yang kuat dan tangkas.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 29 berikut ini:

Waspada di antara yang lengah,
berjaga di antara yang tertidur,
orang bijaksana akan maju terus,
bagaikan seekor kuda yang tangkas berlari meninggalkan kuda yang lemah di belakangnya.


Minggu, 19 Juli 2015

Dhammapada Atthakatha 28 - Kisah Mahakassapa Thera


Suatu waktu ketika Mahakassapa Thera tinggal di gua Pipphali, beliau menghabiskan waktunya untuk mengembangkan kesadaran batin aloka kasina, dan mencoba untuk memperoleh kemampuan batin mata dewa, mengetahui siapa yang waspada, dan siapa yang lengah, juga siapa yang mati dan akan dilahirkan.
Sang Buddha, dari vihara, mengetahui melalui kemampuan batin mata dewa beliau, apa yang dikerjakan oleh Mahakassapa Thera, dan ingin mengingatkan bahwa apa yang dia lakukan hanyalah menghabiskan waktu. Maka Beliau menampakkan diri di depan thera tersebut dan berkata. “Anakku Kassapa, jumlah kelahiran dan kematian makhluk hidup tak terhitung dan tak dapat dihitung. Hal ini bukan tugasmu, hal ini adalah tugas para Buddha.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 28 berikut ini:

Bilamana orang bijaksana,
telah mengatasi kelengahan dengan kewaspadaan,
maka ia akan bebas dari kesedihan,
seakan memanjat menara kebijaksanaan,
dan memandang orang-orang yang menderita di sekelilingnya,
seperti seseorang yang berdiri di atas gunung memandang mereka yang berada di bawah.


DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA