Laman

Minggu, 08 November 2015

Dhammapada Atthakata 115 - Kisah Bahuputtika Theri


Suatu saat di Savatthi, tinggallah pasangan suami istri yang memiliki tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan. Semua anaknya telah menikah dan keluarga anak-anaknya hidup dengan tidak kekurangan. Kemudian sang ayah meninggal dunia dan sang ibu mendapatkan semua kekayaan tanpa membagi sedikitpun kepada anak-anaknya. Anak laki-laki dan anak perempuannya menginginkan memiliki warisan, sehingga mereka berkata kepada ibunya, “Manfaat apa yang kami dapatkan dari kekayaan kami? Tidakkah kita dapat membuatnya berlipat ganda? Tidak dapatkah kita mengurus ibu kita?” Mereka mengatakan hal itu berkali-kali kepada ibu mereka, dan si ibu berpikir bahwa anaknya akan mengurus kehidupan si ibu. Akhirnya ia membagi kekayaan tersebut tanpa menyisakan sedikit pun untuk dirinya.

Setelah pembagian kekayaan, ia pertama kali tinggal bersama anak laki-laki tertua, tetapi menantunya menuntut dan berkata, “Ia telah datang dan tinggal bersama kita, jika ia memberi kita dua bagian dari kekayaan!” dan juga hal-hal lain. Lalu ia pergi menetap di anak laki-laki kedua. Hal yang sama juga terjadi. Jadi ia pergi dari satu anak laki-laki ke anak laki-laki lainnya, dari satu anak perempuan ke anak perempuan lainnya, tetapi satu pun tidak ada yang mau menerimanya untuk waktu yang lama dan tidak memberikan penghormatan kepadanya.

Wanita tua tersebut merasa sakit hati terhadap perlakuan anak-anaknya. Ia meninggalkan keluarganya dan menjadi bhikkhuni. Karena ia dulu ibu dari banyak anak, maka ia dikenal dengan nama Bahuputtika. Bahuputtika menyadari bahwa ia menjadi bhikkhuni pada usia tua dan oleh karena itu ia seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu. Ia hendak menggunakan sisa hidupnya dengan sepenuhnya, sehingga sepanjang malam ia meditasi sesuai dengan Dhamma yang telah diajarkan Sang Buddha.

Sang Buddha memperhatikan diri wanita tua itu dari Vihara Jetavana. Melalui kemampuan batin luar biasa Beliau, dengan cahaya yang cemerlang, Beliau terlihat duduk di depan wanita itu. Kemudian Sang Buddha berkata, “Kehidupan seseorang yang tidak pernah mempraktekkan Dhamma, ajaran Sang Buddha adalah tidak berguna, meskipun seseorang hidup seratus tahun.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 115 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi tidak dapat melihat keluhuran Dhamma (Dhammamuttamam),
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keluhuran Dhamma.



Jumat, 06 November 2015

Dhammapada Atthakatha 114 - Kisah Kisagotami Theri


Kisagotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia mempunyai tubuh yang langsing. Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki seorang anak laki-laki. Anak tersebut meninggal dunia ketika ia baru saja belajar berjalan dan Kisagotami merasa sangat sedih. Dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan kembali anaknya dari setiap orang yang ditemui. Orang-orang mulai berpikir bahwa ia telah menjadi gila. Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata kepadanya, “Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadanya!” Kisagotami kemudian pergi menemui Sang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya.

Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia di dadanya. Kisagotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada. Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun dimana kematian belum pernah terjadi. Kemudian ia menyadari bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, terdapat lebih banyak orang meninggal dunia daripada hidup. Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anaknya.

Ia meninggalkan mayat anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha serta memberitahukan bahwa ia tidak dapat menemukan rumah keluarga di mana kematian belum pernah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya”. Mendengar hal ini, Kisagotami benar-benar menyadari ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khandha) dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tak lama kemudian, Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha melalui kemampuan batin luar biasa-Nya, melihat dari Vihara Jetavana, dan mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidakkekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk merealisasi nibbana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 114 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi tidak dapat melihat “keadaan tanpa kematian” (nibbana),
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat “keadaan tanpa kematian”.


Kisagotami mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Rabu, 04 November 2015

Dhammapada Atthakatha 113 - Kisah Patacara Theri


Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari, ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia sebagai istri orang miskin. Tidak berselang lama, ia hamil, dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari, ketika suaminya pergi, ia pergi ke rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya, menangkapnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya, ia kembali ke rumah bersama suaminya.

Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menangkapnya di tengah perjalanan, tetapi saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya mencari tempat yang sesuai umtuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa. Ia meninggal dunia saat itu juga. Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia melahirkan anak kedua. Pada pagi hari, ia mencari suaminya, tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.

Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam, sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyeberangi sungai bersama kedua anaknya. Dengan meninggalkan anak tertua di tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang baru berumur sehari.
Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang kembali untuk menjemput anak tertua. Ketika ia berada di tengah sungai, elang besar melayang-layang menuju tempat anak kedua berada. Elang itu mematuknya seperti menggigit sepotong daging. Ia berteriak-teriak untuk menakuti-nakuti burung itu, tetapi semua itu sia-sia. Anak bayi itu telah dibawa pergi oleh elang besar. Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang kepadanya. Kemudian ia menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada. Tetapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan ke dua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.

Patacara mencucurkan air mata dan meratap dengan keras, “Seorang anak telah dibawa pergi seekor elang, anak yang lainnya terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa!” Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan dengan sedih menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu menjawab, badai yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah merobohkan rumah orang tuanya dan kedua orang tuanya beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu. Mendengar berita yang demikian tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas dari badannya, dan hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang jalan, berteriak-teriak tentang kesengsaraannya.

Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau menghendaki agar Patacara datang ke dalam pertemuan itu. Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara, dengan mengatakan, “Jangan biarkan wanita gila itu masuk.” Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah, Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan kain itu. Ia kemudian berkata kepada Sang Budha bagaimana ia telah kehilangan anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya.

Sang Buddha berkata kepadanya, “Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu kucurkan atas kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan saudara laki-lakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra.” Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci “Anamatagga Sutta”, yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang. Kemudian Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasikan nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangkan air yang dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.

Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin luar biasaNya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, “Patacara kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khandha). Seseorang yang tidak mengerti corak tidak-kekal, tidak-memuaskan, dan tanpa-inti dari khandha adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 113 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi,
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.

Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Senin, 02 November 2015

Dhammapada Atthakatha 112 - Kisah Sappadasa Thera


Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan kehidupan sebagai bhikkhu. Pada saat itu juga ia merasa tidak tepat dan memalukan untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia meninggal dunia. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak menggigit. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini, bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya.

Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan kesucian dari praktek moralnya (sila) sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha). Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia pulang kembali ke vihara.

Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya bertanya kemana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau. Ketika Sang Thera berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukannya.

Ia menjawab, “Saya sebenarnya bermaksud untuk memotong tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua kekotoran batin dengan pisau pengetahuan pandangan terang.” Para bhikkhu tidak mempercayainya, kemudian mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat dengan menaruh pisau di tenggorokkannya untuk membunuh dirinya sendiri. Apakah mungkin untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dengan cara demikian singkat?” Kepada mereka Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan dalam meditasi, ia dapat mencapai tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 112 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.



DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA