Laman

Minggu, 30 Oktober 2016

Dhammapada Atthakata 177 - Kisah Pemberian Dana Yang Tiada Taranya

 
Dhammapada Atthakata 177 - Kisah Pemberian Dana Yang Tiada Taranya
Suatu saat raja memberi dana makanan kepada Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya dalam jumlah besar. Saingan-saingannya, yang bersaing dengannya, telah mengatur upacara pemberian dana yang lainnya dalam jumlah yang lebih besar dari raja. Jadi, raja dan para saingannya bersaing dalam pemberian dana. Akhirnya, ratu Mallika memikirkan sebuah rencana. Untuk melaksanakan rencana ini, ia meminta raja membangun sebuah paviliun besar. Berikutnya, ia meminta lima ratus buah payung putih memayungi lima ratus bhikkhu. Di tengah paviliun, mereka membuat sepuluh perahu yang telah diisi dengan wewangian dan dupa. Di sana juga terdapat dua ratus lima puluh orang putri, yang akan mengipasi ke lima ratus orang bhikkhu tersebut. Sedangkan saingan-saingan raja tidak memiliki putri-putri, payung-payung putih, ataupun gajah-gajah, mereka tidak lagi dapat bersaing dengan raja. Ketika semua persiapan telah selesai dilaksanakan, dana makanan diberikan. Setelah bersantap, raja mempersembahkan seluruh benda yang berada di paviliun, yang seharga empat belas crores.

Pada saat itu, dua menteri raja hadir. Salah seorang yang bernama Junha sangat senang dan memuji kemurahan hati raja atas pemberian dana kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Ia juga mengatakan bahwa pemberian yang sebesar itu hanya dapat dilakukan oleh seorang raja. Ia sangat senang karena raja akan membagi kebaikan atas perbuatan baiknya kepada semua mahluk. Dengan kata lain, menteri Junha bergembira atas kemurahan hati raja yang tiada taranya. Di lain pihak, menteri Kala berpikir bahwa raja hanya menghambur-hamburkan uang, dengan memberikan empat belas crores dalam sehari, dan karena setelah itu para bhikkhu akan kembali ke Vihara dan tidur.
Setelah bersantap, Sang Buddha menatap kepada orang-orang yang hadir dan mengetahui bagaimana perasaan menteri Kala. Kemudian, Beliau berpikir bahwa jika Ia menyampaikan khotbah panjang tentang pengertian, Kala akan bertambah kecewa, dan akibatnya akan lebih menderita dalam kehidupannya yang akan datang. Jadi, dengan perasaan kasihan terhadap Kala, Sang Buddha hanya menyampaikan khotbah singkat dan kembali ke Vihara Jetavana. Raja mengharapkan khotbah panjang tentang pengertian, oleh karena itu ia menjadi sangat sedih karena Sang Buddha hanya memberikan khotbah singkat. Raja berpikir bahwa ia telah gagal melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, dan akhirnya ia pergi ke vihara.

Begitu melihat raja, Sang Buddha berkata, “Raja yang agung! Anda seharusnya bergembira karena berhasil mempersembahkan dana yang tiada taranya (asadisadana). Sebuah kesempatan yang jarang sekali datangnya; dan datang hanya sekali selama kemunculan setiap Buddha. Tetapi menteri Kala merasa bahwa hal itu hanyalah sebuah pemborosan, dan sama sekali tidak berharga. Jadi, jika saya memberikan khotbah panjang, ia akan menjadi kecewa dan tidak senang, dan akibatnya, ia akan sangat menderita pada kehidupannya yang sekarang maupun pada kehidupan-kehidupan berikutnya. Itulah mengapa Saya berkhotbah sangat singkat sekali. Kemudian Sang Buddha menambahkan,”Raja yang agung! Adalah suatu kebodohan tidak bergembira atas kemurahan hati yang telah diberikan oleh orang lain dan akan pergi ke alam yang rendah. Orang bijaksana bergembira atas kemurahan hati orang lain, dan melalui pengertian, mereka saling membagi keuntungan kebaikan dengan yang lainnya dan akan pergi ke tempat kediaman para dewa.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 177 berikut:

Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa.
Orang bodoh tidak memuji kemurahan hati.
Akan tetapi orang bijaksana senang dalam memberi,
dan karenanya ia akan bergembira di alam berikutnya.


 

Kamis, 27 Oktober 2016

Dhammapada Atthakata 176 - Kisah Cincamanavika


Dhammapada Atthakata 176 - Kisah Cincamanavika
Pada saat Sang Buddha pergi mengajarkan Dhamma, banyak orang datang berduyun-duyun kepada-Nya. Pertapa keyakinan lain mengetahui bahwa para pengikut mereka menjadi berkurang. Mereka menjadi sangat marah, sehingga mereka membuat sebuah rencana yang akan merusak nama baik Sang Buddha. Mereka memanggil Cincamanavika yang sangat cantik, murid kesayangan mereka, dan berkata kepadanya, “Jika dalam hatimu terdapat keyakinan pada kami, tolonglah kami. Buatlah Samana Gotama menjadi malu.” Cincamanavika menyetujui untuk melaksanakan.

Pada malam itu, dia mengambil beberapa bunga dan pergi berkunjung ke Vihara Jetavana. Ketika orang-orang bertanya padanya kemana dia akan pergi, dia menjawab, “Apa gunanya kalian tahu kemana saya akan pergi?”

Dia lalu bermalam di tempat para pertapa lain yang berada dekat Vihara Jetavana, dan dia akan kembali pagi-pagi sekali agar kelihatan bahwa dia telah bermalam di Vihara Jetavana. Ketika ditanya, dia akan menjawab, “Saya menghabiskan malam hari dengan Samana Gotama di kamar yang harum di Vihara Jetavana.”

Setelah lewat tiga atau empat bulan, dia membungkus perutnya dengan kain agar dia kelihatan hamil. Setelah delapan atau sembilan bulan, dia membungkus perutnya dengan memasukkan papan kayu tipis ke dalamnya; ia juga memukuli paha dan kakinya agar kelihatan bengkak; ia juga pura-pura merasa lelah dan lesu. Dengan demikian, ia menggambarkan seorang wanita hamil yang sungguh-sungguh dalam kehamilan besar. Kemudian, pada malamnya, ia pergi ke Vihara Jetavana untuk menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha sedang menjelaskan Dhamma kepada sekumpulan bhikkhu dan umat awam. Melihat Beliau mengajar di atas mimbar, ia menuduh Sang Buddha demikian: ” O…, kamu Samana besar! Kamu hanya berkhotbah kepada orang lain. Saya sekarang hamil karena kamu, dan kamu tidak melakukan apa-apa untuk persalinan saya. Kamu hanya tahu bagaimana menyenangkan dirimu sendiri!”

Sang Buddha menghentikan khotbahnya untuk sementara dan berkata kepadanya, “Saudari, hanya kamu dan saya yang tahu, apakah kamu berkata yang sebenarnya atau tidak,” dan Cincamanavika menjawab, “Ya, kamu benar, bagaimana orang lain tahu apa yang hanya kamu dan saya ketahui?”

Pada saat itu juga, Sakka, raja para dewa, mengetahui masalah yang terjadi di Vihara Jetavana, sehingga ia mengirim empat orang dewanya dalam bentuk tikus-tikus besar. Keempat ekor tikus tersebut pergi ke bawah pakaian Cincamanavika dan menggigit putus benang yang mengikat erat papan kayu di sekeliling perutnya. Pada saat benang tersebut putus, papan kayu terjatuh, memotong bagian depan kakinya. Akhirnya, tipu muslihat Cincamanavika terbongkar, dan banyak orang yang berkerumun berteriak dengan marah, “Oh kamu perempuan jahat! Seorang pembohong dan penipu! Beraninya kamu menuduh Guru Agung kami!” Beberapa dari mereka meludahinya dan menggiringnya keluar. Ia lari secepat yang ia bisa, dan ketika ia telah pergi agak jauh, bumi terbelah dan retak, ia tertelan masuk ke dalam bumi.

Pada hari berikutnya, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang Cincamanavika, Sang Buddha mendekati mereka dan berkata, “Para bhikkhu, seseorang yang tidak takut untuk berkata bohong, dan seseorang yang tidak perduli apa yang akan terjadi pada kehidupan yang akan datang, tidak akan ragu-ragu untuk berbuat jahat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 176 berikut:

Orang yang melanggar salah satu Dhamma
(sila keempat, yakni selalu berkata bohong),
yang tidak memperdulikan dunia mendatang,
maka tak ada kejahatan yang tidak dilakukannya.




Senin, 24 Oktober 2016

Dhammapada Atthakata 175 - Kisah Tiga Puluh Bhikkhu

 
Dhammapada Atthakata 175 - Kisah Tiga Puluh Bhikkhu
Suatu saat tiga puluh bhikkhu datang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka masuk, Y.A. Ananda, yang berada di samping Sang Buddha, meninggalkan ruangan dan menunggu di luar. Setelah beberapa waktu, Ananda Thera masuk, tetapi dia tidak menemukan seorang bhikkhu pun. Sehingga, dia bertanya kepada Sang Buddha kemana para bhikkhu itu telah pergi. Kemudian Sang Buddha menjawab, “Ananda, kesemua bhikkhu itu, setelah mendengar khotbah saya, telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan dengan kemampuan batin luar biasa, mereka meninggalkan ruang ini dengan terbang di udara.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 175 berikut:

Kawanan angsa terbang menuju matahari,
orang-orang yang memiliki kekuatan gaib terbang di udara.
Orang bijaksana berjalan menuju kesucian
setelah menaklukkan Mara beserta bala tentaranya.




Jumat, 21 Oktober 2016

Dhammapada Atthakata 174 - Kisah Gadis Penenun

 
Dhammapada Atthakata 174 - Kisah Gadis Penenun


Pada akhir upacara pemberian dana makanan di Alavi, Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidakkekalan dari kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha). Pada hari itu Sang Buddha menekankan hal utama yang dapat dijelaskan seperti di bawah ini:

“Hidupku adalah tidak pasti; bagiku,
hanya kematianlah satu-satunya yang pasti.
Aku pasti mati;
hidupku berakhir dengan kematian.
Hidup tidaklah pasti;
kematian adalah pasti.”

Sang Buddha juga menasehati orang-orang yang mendengarkan Beliau agar selalu sadar dan berusaha untuk memahami kesunyataan tentang kelompok kehidupan (khandha). Beliau juga berkata, “Seperti seseorang yang bersenjatakan tongkat atau tombak telah bersiap untuk bertemu dengan musuh (misal seekor ular berbisa), demikian pula halnya seseorang yang selalu sadar terhadap kematian akan menghadapi kematian dengan penuh kesadaran. Kemudian ia akan meninggalkan dunia ini untuk mencapai tujuan kebahagiaan (sugati).”

Banyak orang yang tidak memperhatikan penjelasan di atas dengan serius, tetapi seorang gadis penenun muda berusia enam belas tahun mengerti makna penjelasan tersebut. Setelah memberikan khotbah, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.

Selang tiga tahun kemudian, ketika Sang Buddha melihat dunia kehidupan, Beliau melihat penenun muda, dan mengetahui bahwa sudah saatnya bagi gadis itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sehingga Sang Buddha datang ke negara Alavi untuk menjelaskan Dhamma untuk kedua kalinya. Ketika sang gadis mendengar bahwa Sang Buddha telah tiba beserta lima ratus bhikkhu, dia ingin pergi dan mendengarkan khotbah yang akan diberikan oleh Sang Buddha. Tetapi, ayahnya juga meminta kepadanya untuk menggulung beberapa gulungan benang yang dibutuhkan dengan segera, sehingga dia dengan cepat menggulung beberapa gulungan dan membawanya kepada ayahnya. Dalam perjalanan menuju ke tempat ayahnya berada, dia berhenti untuk sementara di samping orang-orang yang telah tiba untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha.

Ketika itu Sang Buddha mengetahui bahwa gadis penenun muda akan datang untuk mendengarkan khotbah-Nya; Beliau juga mengetahui bahwa sang gadis akan meninggal pada saat dia pergi ke tempat penenunan. Oleh karena itu, sangatlah penting baginya untuk mendengarkan Dhamma dalam perjalanan menuju ke tempat penenunan dan bukan pada saat dia kembali. Jadi, ketika gadis penenun muda itu muncul dalam kumpulan orang-orang, Sang Buddha melihatnya. Ketika dia melihat Sang Buddha menatapnya, dia menjatuhkan keranjangnya dan dengan penuh hormat mendekati Sang Buddha. Kemudian, Sang Buddha memberikan empat pertanyaan kepadanya dan dia menjawab semua pertanyaan tersebut. Pertanyaan dan jawaban diberikan seperti di bawah ini:

Pertanyaan 1, Dari mana asalmu?
Jawaban 1, Saya tidak tahu.Pertanyaan 2, Kemana kamu akan pergi?
Jawaban 2, Saya tidak tahu.
Pertanyaan 3, Tidakkah kau tahu?
Jawaban 3, Ya, saya tahu.
Pertanyaan 4, Tahukah kamu?
Jawaban 4, Saya tidak tahu, Bhante.

Mendengar jawaban itu, orang-orang berpikir bahwa gadis penenun muda sangat tidak hormat. Kemudian, Sang Buddha meminta untuk menjelaskan apa maksud jawabannya, dan diapun menjelaskan.

“Bhante! Engkau tahu bahwa saya datang dari rumah saya; saya mengartikan pertanyaan pertama Anda, Anda bermaksud untuk menanyakan dari kehidupan yang lampau manakah saya datang, karena itu jawaban saya, “Saya tidak tahu.”

Maksud pertanyaan kedua, pada kehidupan yang akan datang manakah akan saya tempuh setelah ini; oleh karena itu jawaban saya, “Saya tidak tahu.”
Maksud pertanyaan ketiga, apakah saya tidak tahu bahwa suatu hari saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, “Ya, saya tahu.”
Maksud pertanyaan terakhir apakah saya tahu kapan saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, “Saya tidak tahu.”

Sang Buddha sangat puas dengan penjelasannya dan berkata kepada orang-orang hadir, “Banyak dari kalian yang mungkin tidak mengerti dengan jelas maksud dari jawaban yang diberikan oleh gadis penenun muda. Mereka yang bodoh berada dalam kegelapan, seperti orang buta.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 174 berikut:

Dunia ini terselubung kegelapan,
dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dengan jelas.
Bagaikan burung-burung kena jerat,
hanya sedikit yang dapat melepaskan diri;
demikian pula hanya sedikit orang
yang dapat pergi ke alam surga.

Gadis penenun muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat penenunan. Ketika dia sampai di sana, ayahnya tertidur di atas kursi peralatan tenun. Saat ayahnya terbangun dengan tiba-tiba, dia dengan tidak sengaja menarik gulungan dan ujungnya menusuk tepat di dada sang gadis. Gadis penenun muda meninggal dunia di tempat itu juga, dan ayahnya sangat sedih. Dengan berlinang air mata ayah gadis itu pergi menghadap Sang Buddha dan memohon agar Sang Buddha menerimanya sebagai bhikkhu. Kemudian, dia mencapai tingkat kesucian arahat.



Selasa, 18 Oktober 2016

Dhammapada Atthakata 173 - Kisah Anggulimala Thera

Dhammapada Atthakata 173 - Kisah Anggulimala Thera

Angulimala adalah putera seorang kepala pendeta di istana Raja Pasenadi dari Kosala. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Ketika dia sudah cukup umur, ia dikirim ke Taxila, sebuah universitas besar yang terkenal. Ahimsaka sangat pandai dan juga patuh kepada gurunya. Oleh karena itu ia disenangi oleh guru maupun istri gurunya. Murid-murid yang lain menjadi iri hati kepadanya. Mereka pergi kepada gurunya dan dengan berbohong melaporkan bahwa Ahimsaka terlibat hubungan gelap dengan istri gurunya. Mulanya, sang guru tidak mempercayai mereka, tetapi setelah disampaikan beberapa kali dia mempercayai mereka. Dia bersumpah untuk mengenyahkan Ahimsaka. Untuk melenyapkan anak tersebut harus dengan cara yang sangat kejam, sehingga dia memikirkan sebuah rencana yang lebih buruk daripada pembunuhan. Dia mengajarkan Ahimsaka untuk membunuh seribu orang lelaki ataupun wanita dan setelah kembali dia berjanji untuk memberikan kepada Ahimsaka pengetahuan yang tak ternilai. Anak itu ingin memiliki pengetahuan ini, tetapi sangat segan untuk membunuh. Terpaksa dia menyetujui untuk melaksanakan apa yang telah diajarkan kepadanya.

Ahimsaka melakukan pembunuhan manusia, dan tidak pernah lalai menghitung. Dia merangkai setiap jari dari setiap orang yang dibunuhnya. Oleh karena itu dia terkenal dengan nama Angulimala, dan menjadi pengacau daerah itu. Raja mendengar perihal perbuatan Angulimala, dan ia membuat persiapan untuk menangkapnya. Mantani, ibu dari Angulimala, mendengar maksud raja. Karena cinta kepada anaknya, ia memasuki hutan, dan berusaha untuk menyelamatkan anaknya. Pada waktu itu, kalung jari di leher Angulimala telah mencapau sembilan ratus sembilan puluh sembilan jari, dan tinggal satu jari akan menjadi seribu.

Pagi-pagi sekali pada hari itu, Sang Buddha melihat Angulimala dalam penglihatan-Nya, dan berpikir bahwa jika Beliau tidak menghalangi Angulimala, yang sedang menunggu orang terakhir untuk memperoleh seribu jari, akan melihat ibunya dan bisa membunuhnya. Karena hal itu, Agulimala akan menderita di alam neraka (niraya) yang tiada akhirnya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan di mana Angulimala berada.

Angulimala, setelah lama tidak tidur siang dan malam, sangat letih dan lelah. Pada saat yang sama, dia sangat cemas untuk membunuh orang terakhir agar jumlah seribu jari terpenuhi, dan menyempurnakan tugasnya. Dia memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya. Ketika sedang menunggu, tiba-tiba dia melihat Sang Buddha dan ia mengejar-Nya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat dikejar sehingga dirinya sangat lelah. Sambil memperhatikan Sang Buddha, dia menangis, “O bhikkhu, berhenti! berhenti!” dan Sang Buddha menjawab, “Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti.” Angulimala tidak mengerti arti kata-kata Sang Buddha, sehingga dia bertanya, “O bhikkhu! Mengapa engkau berkata bahwa engkau telah berhenti dan saya belum berhenti?”

Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “Aku berkata bahwa Aku telah berhenti, karena Aku telah berhenti membunuh semua mahluk, Aku telah berhenti menyiksa semua mahluk, dan karena Aku telah mengembangkan diriKu dalam cinta kasih yang universal, kesabaran, dan pengetahuan tanpa cela. Tetapi, kamu belum berhenti membunuh atau menyiksa mahluk lain dan kamu belum mengembangkan dirimu dalam cinta kasih yang universal dan kesabaran. Karena itu, kamulah yang belum berhenti.”

Begitu mendengar kata-kata ini dari mulut Sang Buddha, Angulimala berpikir, “Ini adalah kata-kata orang yang bijaksana. Bhikkhu ini amat sangat bijaksana dan amat sangat berani, dia pasti adalah pemimpin para bhikkhu. Tentu dia adalah Sang Buddha sendiri! Dia pasti datang kemari khusus untuk membuat saya menjadi sadar.” Dengan berpikir demikian, dia melemparkan senjatanya dan memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Kemudian di tempat itu juga, Sang Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu.

Ibu Angulimala mencari anaknya di dalam hutan dengan menyebut-nyebut namanya, tetapi gagal menemukannya. Ia kembali ke rumah. Ketika raja dan para prajuritnya datang untuk menangkap Angulimala, mereka menemukannya di vihara Sang Buddha. Mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan perbuatan jahatnya dan menjadi seorang bhikkhu, raja dan para prajuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin dan tekun melatih meditasi, dalam waktu yang singkat dia mencapai tingkat kesucian arahat.

Pada suatu hari ketika Angulimala sedang berjalan untuk menerima dana makanan, dia melewati suatu tempat dimana terjadi pertengkaran antara sekumpulan orang. Ketika mereka saling melemparkan batu, beberapa batu mengenai kepala Angulimala dan melukainya. Dia berjalan pulang menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya, “Angulimala anakku! Kamu telah melepaskan perbuatan jahat. Bersabarlah. Saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan. Perbuatan-perbuatan jahat itu bisa menyebabkan penderitaan yang tak terkira lamanya dalam alam neraka (niraya).” Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana).

Para bhikkhu yang lain bertanya kepada Sang Buddha di manakah Angulimala akan bertumimbal lahir, Sang Buddha menjawab, “Anakku telah merealisasi kebebasan akhir (parinibbana).”

Mereka hampir tidak mempercayainya. Sehingga mereka bertanya lagi kepada Sang Buddha apakah mungkin seseorang yang sudah begitu banyak membunuh manusia dapat mencapai parinibbana. Terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan jahat karena dia tidak memiliki teman-teman yang baik. Tetapi kemudian, dia menemukan teman-teman yang baik dan dengan bantuan mereka serta nasehat yang baik dia telah dengan mantap dan penuh perhatian melaksanakan Dhamma. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan jahatnya telah disingkirkan oleh kebaikan (arahatta magga).”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 173 berikut:

Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan
dengan jalan berbuat kebajikan,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagai bulan yang bebas dari awan.



DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA