Laman

Minggu, 08 November 2015

Dhammapada Atthakata 115 - Kisah Bahuputtika Theri


Suatu saat di Savatthi, tinggallah pasangan suami istri yang memiliki tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan. Semua anaknya telah menikah dan keluarga anak-anaknya hidup dengan tidak kekurangan. Kemudian sang ayah meninggal dunia dan sang ibu mendapatkan semua kekayaan tanpa membagi sedikitpun kepada anak-anaknya. Anak laki-laki dan anak perempuannya menginginkan memiliki warisan, sehingga mereka berkata kepada ibunya, “Manfaat apa yang kami dapatkan dari kekayaan kami? Tidakkah kita dapat membuatnya berlipat ganda? Tidak dapatkah kita mengurus ibu kita?” Mereka mengatakan hal itu berkali-kali kepada ibu mereka, dan si ibu berpikir bahwa anaknya akan mengurus kehidupan si ibu. Akhirnya ia membagi kekayaan tersebut tanpa menyisakan sedikit pun untuk dirinya.

Setelah pembagian kekayaan, ia pertama kali tinggal bersama anak laki-laki tertua, tetapi menantunya menuntut dan berkata, “Ia telah datang dan tinggal bersama kita, jika ia memberi kita dua bagian dari kekayaan!” dan juga hal-hal lain. Lalu ia pergi menetap di anak laki-laki kedua. Hal yang sama juga terjadi. Jadi ia pergi dari satu anak laki-laki ke anak laki-laki lainnya, dari satu anak perempuan ke anak perempuan lainnya, tetapi satu pun tidak ada yang mau menerimanya untuk waktu yang lama dan tidak memberikan penghormatan kepadanya.

Wanita tua tersebut merasa sakit hati terhadap perlakuan anak-anaknya. Ia meninggalkan keluarganya dan menjadi bhikkhuni. Karena ia dulu ibu dari banyak anak, maka ia dikenal dengan nama Bahuputtika. Bahuputtika menyadari bahwa ia menjadi bhikkhuni pada usia tua dan oleh karena itu ia seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu. Ia hendak menggunakan sisa hidupnya dengan sepenuhnya, sehingga sepanjang malam ia meditasi sesuai dengan Dhamma yang telah diajarkan Sang Buddha.

Sang Buddha memperhatikan diri wanita tua itu dari Vihara Jetavana. Melalui kemampuan batin luar biasa Beliau, dengan cahaya yang cemerlang, Beliau terlihat duduk di depan wanita itu. Kemudian Sang Buddha berkata, “Kehidupan seseorang yang tidak pernah mempraktekkan Dhamma, ajaran Sang Buddha adalah tidak berguna, meskipun seseorang hidup seratus tahun.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 115 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi tidak dapat melihat keluhuran Dhamma (Dhammamuttamam),
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keluhuran Dhamma.



Jumat, 06 November 2015

Dhammapada Atthakatha 114 - Kisah Kisagotami Theri


Kisagotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia mempunyai tubuh yang langsing. Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki seorang anak laki-laki. Anak tersebut meninggal dunia ketika ia baru saja belajar berjalan dan Kisagotami merasa sangat sedih. Dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan kembali anaknya dari setiap orang yang ditemui. Orang-orang mulai berpikir bahwa ia telah menjadi gila. Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata kepadanya, “Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadanya!” Kisagotami kemudian pergi menemui Sang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya.

Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia di dadanya. Kisagotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada. Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun dimana kematian belum pernah terjadi. Kemudian ia menyadari bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, terdapat lebih banyak orang meninggal dunia daripada hidup. Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anaknya.

Ia meninggalkan mayat anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha serta memberitahukan bahwa ia tidak dapat menemukan rumah keluarga di mana kematian belum pernah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya”. Mendengar hal ini, Kisagotami benar-benar menyadari ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khandha) dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tak lama kemudian, Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha melalui kemampuan batin luar biasa-Nya, melihat dari Vihara Jetavana, dan mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidakkekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk merealisasi nibbana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 114 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi tidak dapat melihat “keadaan tanpa kematian” (nibbana),
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat “keadaan tanpa kematian”.


Kisagotami mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Rabu, 04 November 2015

Dhammapada Atthakatha 113 - Kisah Patacara Theri


Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari, ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia sebagai istri orang miskin. Tidak berselang lama, ia hamil, dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari, ketika suaminya pergi, ia pergi ke rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya, menangkapnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya, ia kembali ke rumah bersama suaminya.

Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menangkapnya di tengah perjalanan, tetapi saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya mencari tempat yang sesuai umtuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa. Ia meninggal dunia saat itu juga. Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia melahirkan anak kedua. Pada pagi hari, ia mencari suaminya, tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.

Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam, sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyeberangi sungai bersama kedua anaknya. Dengan meninggalkan anak tertua di tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang baru berumur sehari.
Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang kembali untuk menjemput anak tertua. Ketika ia berada di tengah sungai, elang besar melayang-layang menuju tempat anak kedua berada. Elang itu mematuknya seperti menggigit sepotong daging. Ia berteriak-teriak untuk menakuti-nakuti burung itu, tetapi semua itu sia-sia. Anak bayi itu telah dibawa pergi oleh elang besar. Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang kepadanya. Kemudian ia menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada. Tetapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan ke dua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.

Patacara mencucurkan air mata dan meratap dengan keras, “Seorang anak telah dibawa pergi seekor elang, anak yang lainnya terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa!” Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan dengan sedih menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu menjawab, badai yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah merobohkan rumah orang tuanya dan kedua orang tuanya beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu. Mendengar berita yang demikian tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas dari badannya, dan hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang jalan, berteriak-teriak tentang kesengsaraannya.

Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau menghendaki agar Patacara datang ke dalam pertemuan itu. Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara, dengan mengatakan, “Jangan biarkan wanita gila itu masuk.” Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah, Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan kain itu. Ia kemudian berkata kepada Sang Budha bagaimana ia telah kehilangan anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya.

Sang Buddha berkata kepadanya, “Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu kucurkan atas kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan saudara laki-lakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra.” Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci “Anamatagga Sutta”, yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang. Kemudian Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasikan nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangkan air yang dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.

Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin luar biasaNya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, “Patacara kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khandha). Seseorang yang tidak mengerti corak tidak-kekal, tidak-memuaskan, dan tanpa-inti dari khandha adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 113 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi,
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.

Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Senin, 02 November 2015

Dhammapada Atthakatha 112 - Kisah Sappadasa Thera


Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan kehidupan sebagai bhikkhu. Pada saat itu juga ia merasa tidak tepat dan memalukan untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia meninggal dunia. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak menggigit. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini, bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya.

Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan kesucian dari praktek moralnya (sila) sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha). Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia pulang kembali ke vihara.

Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya bertanya kemana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau. Ketika Sang Thera berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukannya.

Ia menjawab, “Saya sebenarnya bermaksud untuk memotong tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua kekotoran batin dengan pisau pengetahuan pandangan terang.” Para bhikkhu tidak mempercayainya, kemudian mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat dengan menaruh pisau di tenggorokkannya untuk membunuh dirinya sendiri. Apakah mungkin untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dengan cara demikian singkat?” Kepada mereka Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan dalam meditasi, ia dapat mencapai tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 112 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.



Sabtu, 31 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 111 - Kisah Khanu-Kondanna


Setelah menerima pelajaran objek meditasi dari Sang Buddha, Kondanna pergi ke hutan untuk mempraktekkan meditasi dan di sana Kondanna mencapai tingkat kesucian arahat. Dalam perjalanan pulang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, Kondanna sangat lelah dan berhenti di perjalanan. Kondanna duduk di atas lempengan batu besar dan mengkonsentrasikan pikiran dalam jhana. Pada saat itu, lima ratus orang perampok setelah merampok sebuah desa besar, datang ke tempat Kondanna berada. Mereka mengira bhikkhu itu bagaikan tunggul pohon sehingga mereka menaruh tumpukkan barang rampokan di sekitar tubuh beliau. Ketika hari mulai siang, mereka menyadari bahwa apa yang mereka kira sebagai tunggul pohon, pada kenyataannya adalah makhluk hidup. Kemudian mereka berpikir bahwa makhluk itu merupakan raksasa sehingga mereka lari dengan ketakutan.

Kondanna menyatakan kepada mereka bahwa ia hanya seorang bhikkhu, bukan raksasa, dan berkata kepada mereka agar jangan takut. Perampok-perampok tersebut terpesona oleh kata-katanya, dan memohon maaf atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Tak lama kemudian, semua perampok memohon kepada Kondanna agar berkenan menerima mereka dalam pasamuan bhikkhu. Sejak saat itu Kondanna dikenal dengan nama “Khanu Kondanna” (Kondanna tunggul pohon).

Kondanna beserta bhikkhu-bhikkhu baru menemui Sang Buddha dan menyampaikan kepada Beliau apa yang telah terjadi. Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Hidup seratus tahun dengan ketidaktahuan, melakukan hal-hal yang bodoh, adalah tidak bermanfaat, sekarang kamu telah melihat kebenaran dan telah menjadi bijaksana, kehidupanmu sehari sebagai orang yang bijaksana, sangat bermanfaat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 111 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi tidak bijaksana dan tidak terkendali,
sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang bijaksana dan tekun bersamadhi.



Kamis, 29 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 110 - Kisah Samanera Samkicca


Pada suatu ketika, tiga puluh bhikkhu setelah menerima pelajaran objek meditasi yang diberikan Sang Buddha, pergi menuju sebuah desa besar, yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi. Pada waktu itu, lima ratus orang perampok tinggal di tengah-tengah hutan dan mereka berkeinginan untuk membuat persembahan dari daging dan darah manusia untuk makhluk halus penjaga hutan. Kemudian mereka datang ke vihara desa dan meminta salah seorang bhikkhu diserahkan kepada mereka untuk dikorbankan kepada makhluk halus penjaga hutan. Semua bhikkhu, dari yang tertua sampai yang termuda, bersedia secara sukarela untuk pergi. Di antara para bhikkhu tersebut, terdapat juga seorang samanera muda yang bernama Samkicca. Samanera itu disuruh menyertai perjalanan mereka oleh Sariputta Thera. Samanera ini baru berumur tujuh tahun, tetapi telah mencapai tingkat kesucian arahat. Samkicca berkata bahwa Sariputta Thera gurunya, mengetahui bahaya yang akan datang menghadang mereka, dengan sengaja menyuruhnya untuk menyertai perjalanan para bhikkhu, dan ia telah siap menjadi orang yang pergi memenuhi keinginan perampok. Kemudian Samkicca pergi bersama perampok. Para bhikkhu merasa sangat sedih telah membiarkan samanera muda pergi. Para perampok membuat persiapan untuk upacara pengorbanan. Ketika semuanya sudah siap, pimpinan mereka mendekati samanera, yang sedang duduk, dengan pikiran terpusat pada konsentrasi terserap (jhana). Sang pimpinan perampok mengangkat pedangnya dan menebaskannya kepada samanera muda, tetapi mata pedang tersebut bengkok tanpa memotong daging samanera. Ia meluruskan mata pedangnya dan menebaskannya lagi, kali ini, pedang tersebut bengkok sampai ke pangkalnya tanpa melukai samanera. Melihat hal aneh ini, pemimpin perampok menjatuhkan pedangnya, berlutut di kaki samanera dan memohon ampun. Semua perampok itu terheran-heran dan merasa sangat ngeri, mereka menyesali perbuatannya, dan bertekad akan menjadi bhikkhu.

Samanera muda disertai lima ratus pengikutnya berangkat kembali ke vihara desa dan ketigapuluh bhikkhu yang tinggal di vihara merasa lega dan gembira melihatnya. Kemudian Samkicca dan lima ratus pengikutnya meneruskan perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sariputta Thera. Setelah bertemu Sariputta Thera, mereka pergi untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika menceritakan apa yang telah terjadi, Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, jika kamu merampok atau mencuri dan melakukan berbagai bentuk perbuatan jahat, hidupmu akan menjadi tidak berguna, meskipun kamu hidup seratus tahun. Menjalani hidup dengan hidup suci meskipun satu hari lebih baik daripada seratus tahun hidup dengan kejahatan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 110 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,

tetapi memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali,
sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.



Selasa, 27 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 109 - Kisah Ayuvaddhanakumara


Suatu waktu terdapat dua orang pertapa yang tinggal bersama, mempraktekkan pertapaan yang keras (tapacaranam) selama bertahun-tahun lamanya. Kemudian, satu di antara dua pertapa itu meninggalkan kehidupan bertapa dan menikah. Setelah seorang anak laki-lakinya lahir, keluarga tersebut mengunjungi pertapa tua temannya dan memberi hormat kepadanya. Kepada kedua orang tua anak itu, sang pertapa berkata “Semoga kalian panjang umur”, tetapi dia tidak berkata apa-apa kepada si anak.

Kedua orang tua tersebut bingung dan menanyakan kepada pertapa, apakah alasannya ia tidak berkata apa-apa kepada anak itu. Sang pertapa berkata kepada mereka bahwa anak tersebut hanya akan hidup tujuh hari lagi dan ia tidak tahu bagaimana untuk mencegah kematiannya, tetapi Buddha Gotama mungkin tahu bagaimana cara mencegahnya.

Kemudian orang tua tersebut membawa anaknya menghadap Sang Buddha, ketika mereka memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau juga berkata “Semoga kalian panjang umur” hanya kepada kedua orang tua itu dan tidak kepada anaknya. Sang Buddha juga memperkirakan kematian akan datang pada anak itu. Untuk mencegah kematiannya, Sang Buddha berkata kepada orang tua itu agar mereka membangun paviliun di depan pintu masuk rumahnya dan meletakkan anak tersebut pada dipan di dalam paviliun. Kemudian beberapa bhikkhu diundang ke sana untuk membaca paritta selama tujuh hari. Pada hari ketujuh Sang Buddha sendiri datang ke paviliun itu. Para dewa dari seluruh alam semesta juga datang. Pada waktu itu raksasa Avaruddhaka berada di pintu masuk, menunggu kesempatan membawa anak itu pergi. Tetapi kedatangan para dewa menyebabkan raksasa tersebut hanya dapat menunggu di suatu tempat yang jauhnya 2 yojana dari anak tersebut. Sepanjang malam, pembacaan paritta dilaksanakan tanpa henti, sehingga melindungi anak tersebut. Hari berikutnya, anak tersebut diambil dari dipan dan melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Pada kesempatan itu, Sang Buddha berkata “Semoga kamu panjang umur” kepada anak tersebut. Ketika ditanya berapa lama anak tersebut akan hidup, Sang Buddha menjawab bahwa ia akan hidup selama seratus dua puluh tahun. Kemudian anak itu diberi nama Ayuvaddhana.

Ketika anak tersebut remaja, ia pergi berkeliling negeri dengan disertai lima ratus orang pengikut. Suatu hari mereka datang ke Vihara Jetavana, para bhikkhu mengenalinya, dan bertanya kepada Sang Buddha, “Dengan melaksanakan apa seseorang bisa berumur panjang?” Sang Buddha menjawab, “Dengan menghormati dan menghargai yang lebih tua, yang memiliki kebijaksanaan serta kesucian, niscaya seseorang akan memperoleh tidak hanya umur panjang, tetapi juga keindahan, kebahagiaan, dan kekuatan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 109 berikut:

Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua,

kelak akan memperoleh empat hal, yaitu:
umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.



Minggu, 25 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 108 - Kisah Teman Sariputta Thera


Pada kesempatan lain lagi, Sariputta Thera bertanya kepada temannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Temannya menjawab bahwa ia telah melakukan persembahan pengorbanan dalam skala besar. Ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam kehidupannya yang akan datang.

Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma.

Kemudian Sariputta Thera membawa temannya menghadap Sang Buddha, yang menunjukkannya jalan menuju ke alam brahma. Kepada teman Sariputta Thera, Sang Buddha berkata, “Brahmana, memberikan penghormatan kepada para orang suci (ariya) untuk sesaat saja akan lebih baik daripada melakukan persembahan pengorbanan besar dan kecil sepanjang tahun.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 108 berikut:

Dalam dunia ini, pengorbanan dan persembahan apapun yang dilakukan oleh seseorang selama seratus tahun, untuk memperoleh pahala dari perbuatannya itu,

semuanya tidak berharga seperempat bagian pun, daripada penghormatan yang diberikan kepada orang yang hidupnya lurus.


Brahmana teman Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Jumat, 23 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 107 - Kisah Keponakan Sariputta Thera


Pada lain kesempatan, Sariputta Thera bertanya kepada keponakannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Keponakannya menjawab bahwa ia telah mengorbankan seekor kambing ke dalam api pemujaan setiap bulan, dan ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma pada kehidupannya yang akan datang.

Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma.

Kemudian Sariputta Thera membawa keponakannya, seorang brahmana muda, menghadap Sang Buddha. Di sana, Sang Buddha mengajarkan Dhamma yang dapat menuntun seseorang menuju ke alam brahma dan berkata kepada sang brahmana: “Brahmana muda, memberikan penghormatan kepada orang suci untuk sesaat saja akan jauh lebih baik daripada memberikan pengorbanan untuk api pemujaan selama seratus tahun.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 107 berikut:

Biarpun selama seratus tahun seseorang menyalakan api pemujaan di hutan,

namun sesungguhnya lebih baik jika ia,

walaupun hanya sesaat saja,
menghormati orang yang telah memiliki pengendalian diri.


Keponakan Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Rabu, 21 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 106 - Kisah Paman Sariputta Thera


Suatu ketika, Sariputta Thera bertanya kepada pamannya seorang brahmana apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik.

Sang brahmana menjawab bahwa ia telah membuat persembahan senilai seribu kahapana setiap bulan untuk pertapa-pertapa Nigantha, dan berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam kehidupannya yang akan datang.

Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma. Kemudian Sariputta Thera membawa pamannya menghadap Sang Buddha, dan memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan Dhamma, yang dengan pasti akan membawa seseorang ke alam brahma.

Sang Buddha berkata: “Brahmana, persembahan sesendok dana makanan kepada seorang suci akan lebih baik daripada persembahan seribu kahapana kepada orang yang tidak suci.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 106 berikut:

Biarpun bulan demi bulan seseorang mempersembahkan seribu korban selama seratus tahun,

namun lebih baik jika menghormati orang yang memiliki pengendalian diri,
walaupun hanya sesaat saja.


Paman Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Senin, 19 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 105 - Kisah Brahmana Anatthapucchaka


Suatu ketika, seorang brahmana bernama Anatthapucchaka mengunjungi Sang Buddha dan berkata, “Bhante, saya berpikir bahwa Anda hanya mengetahui praktek-praktek yang bermanfaat dan tidak mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat.”

Sang Buddha menjawab bahwa Beliau juga mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat dan merugikan. Kemudian Sang Buddha menyebutkan satu per satu enam praktek yang dapat memboroskan kekayaan, sebagai berikut:
1. Tidur sampai matahari terbit.

2. Kebiasaan bermalas-malasan.
3. Bertindak kejam.
4. Gemar minum-minum keras yang menyebabkan mabuk dan lemahnya kesadaran.
5. Berkeliaran sendiri di jalan pada waktu yang tidak tepat, dan
6. Perilaku seks yang salah.


Setelah itu, Sang Buddha bertanya kepada brahmana tersebut bagaimana ia menghidupi dirinya.
Brahmana itu menjawab bahwa ia menghidupi dirinya dengan berjudi, sebagai contoh: bermain dadu.
Selanjutnya Sang Buddha bertanya kepadanya apakah ia menang atau kalah. Ketika sang brahmana menjawab bahwa ia kadangkala menang dan kadangkala kalah, Sang Buddha berkata kepadanya, “Menang dalam permainan dadu tidak dapat diperbandingkan dengan kemenangan melawan kekotoran batin.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 104 dan 105 berikut ini:

Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya lebih baik daripada menaklukkan makhluk lain;

orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri selalu dapat mengendalikan diri.
Tidak ada Dewa, Mara, Gandhabba, ataupun Brahmana,

yang dapat mengubah kemenangan dari orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.


Sabtu, 17 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 104 - Kisah Brahmana Anatthapucchaka


Suatu ketika, seorang brahmana bernama Anatthapucchaka mengunjungi Sang Buddha dan berkata, “Bhante, saya berpikir bahwa Anda hanya mengetahui praktek-praktek yang bermanfaat dan tidak mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat.”

Sang Buddha menjawab bahwa Beliau juga mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat dan merugikan. Kemudian Sang Buddha menyebutkan satu per satu enam praktek yang dapat memboroskan kekayaan, sebagai berikut:
1. Tidur sampai matahari terbit.

2. Kebiasaan bermalas-malasan.
3. Bertindak kejam.
4. Gemar minum-minum keras yang menyebabkan mabuk dan lemahnya kesadaran.
5. Berkeliaran sendiri di jalan pada waktu yang tidak tepat, dan
6. Perilaku seks yang salah.


Setelah itu, Sang Buddha bertanya kepada brahmana tersebut bagaimana ia menghidupi dirinya.
Brahmana itu menjawab bahwa ia menghidupi dirinya dengan berjudi, sebagai contoh: bermain dadu.
Selanjutnya Sang Buddha bertanya kepadanya apakah ia menang atau kalah. Ketika sang brahmana menjawab bahwa ia kadangkala menang dan kadangkala kalah, Sang Buddha berkata kepadanya, “Menang dalam permainan dadu tidak dapat diperbandingkan dengan kemenangan melawan kekotoran batin.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 104 dan 105 berikut ini:

Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya lebih baik daripada menaklukkan makhluk lain;

orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri selalu dapat mengendalikan diri.

Tidak ada Dewa, Mara, Gandhabba, ataupun Brahmana,

yang dapat mengubah kemenangan dari orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.



Kamis, 15 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 103 - Kisah Kundalakesi Theri


Kundalakesi adalah putri orang kaya dari Rajagaha. Ia senang dengan kehidupan menyendiri. Suatu hari ia kebetulan melihat seorang pencuri yang sedang digiring untuk dibunuh, dan ia secara tiba-tiba jatuh cinta padanya. Hal itu disampaikan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya menolak. Tetapi Kundalakesi tak mau mundur setapakpun. Akhirnya orang tuanya mengalah dan membayar sejumlah uang untuk kebebasan pencuri tersebut.

Mereka berdua segera dinikahkan. Meskipun Kundalakesi mencintai suaminya dengan sangat, suaminya tetaplah seorang pencuri, yang hanya tertarik kepada harta dan permatanya.
Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua permatanya dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung. Katanya: “Adinda, aku ingin melakukan persembahan kepada makhluk halus penjaga gunung yang telah menolong hidupku ketika akan dibunuh.”

Kundalakesi menurut dan pergi mengikuti suaminya. Ketika mereka sampai di tujuan, suaminya berkata: “Sekarang kita berdua telah sampai di tujuan. Maka engkau akan kubunuh untuk mendapatkan semua permatamu itu!”

Dengan ketakutan Kundalakesi memohon: “Jangan! Aku jangan kau bunuh, Ambilah semua hartaku, tetapi selamatkanlah nyawaku!”

“Membiarkanmu hidup?” ejek suaminya. “Jangan-jangan nanti engkau malahan melaporkan bahwa permatamu itu kurampas. Tidak bisa! Kau harus kulenyapkan untuk menghilangkan saksi!”

Dalam keputusannya Kundalakesi menyadari bahwa mereka sekarang sedang berada di tepi jurang. Ia berpikir bahwa ia seharusnya berhati-hati dan cerdik. Jika ia mendorong suaminya ke jurang, mungkin merupakan satu kesempatan untuk dapat hidup lebih lama lagi.

Kemudian dengan menghiba ia berkata kepada suaminya: “Kakanda, kita berkumpul bersama-sama ini hanya tinggal beberapa saat lagi. Bagaimanapun juga, engkau adalah suamiku dan orang yang sangat kucintai. Maka, ijinkanlah aku memberikan penghormatan kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Hanya itu saja permintaan terakhirku. Semoga kakanda mau mengabulkan permintaan terakhir isterimu ini.”
Setelah berkata seperti itu, Kundalakesi mengitari laki-laki itu dengan penuh hormat, sampai tiga kali.
Pada kali terakhir, ketika ia berada di belakang suaminya, dengan sepenuh kekuatannya ia mendorong suaminya ke jurang, dan jatuh ke tebing batu yang terjal.
Setelah kejadian itu, ia tidak berkeinginan lagi untuk kembali ke rumah. Ia meninggalkan semua permata-permatanya dengan menggantungnya di sebuah pohon, dan pergi, tanpa tahu kemana ia akan pergi.
Secara kebetulan ia sampai di tempat para pertapa pengembara wanita (paribbajika) dan ia sendiri menjadi seorang pertapa pengembara wanita. Para paribbajika lalu mengajarinya seribu problem pandangan menyesatkan.

Dengan kepandaiannya ia menguasai apa yang diajarkan mereka dalam waktu singkat. Kemudian gurunya berkata kepadanya untuk pergi berkelana dan jika ia menemukan seseorang yang dapat menjawab semua pertanyaannya, jadilah kamu muridnya.

Kundalakesi berkelana ke seluruh Jambudipa, menantang siapa saja untuk berdebat dengannya. Oleh karena itu ia dikenal sebagai “Jabukaparibbajika”.

Pada suatu hari, ia tiba di Savatthi. Sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan, ia membuat sebuah gundukan pasir dan menancapkan sebatang ranting eugenia di atasnya. Suatu tanda yang biasa ia lakukan untuk mengundang orang lain dan menerima tantangannya.
Sariputta Thera menerima tantangannya.

Kundalakesi menanyakan kepadanya seribu pertanyaan dan Sariputta Thera berhasil menjawab semuanya. Ketika giliran Sariputta Thera bertanya kepadanya, Sariputta Thera hanya bertanya seperti ini: “Apa yang satu itu? (Ekam namakim).”

Kundalakesi lama terdiam tidak dapat menjawab. Kemudian ia berkata kepada Sariputta Thera untuk mengajarinya agar ia dapat menjawab pertanyaannya. Sariputta berkata bahwa ia harus terlebih dahulu menjadi seorang bhikkhuni.

Kundalakesi kemudian menjadi seorang bhikkhuni dengan nama Bhikkhuni Kundalakesi. Dengan tekun ia mempraktekkan apa yang diucapkan oleh Sariputta, dan hanya dalam beberapa hari kemudian, ia menjadi seorang arahat.

Tak lama setelah kejadian tersebut, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha: “Apakah masuk akal Bhikkhuni Kundalakesi menjadi seorang arahat setelah hanya sedikit mendengar Dhamma?” Mereka juga menambahkan bahwa wanita tersebut telah berkelahi dan memperoleh kemenangan melawan suaminya, seorang pencuri, sebelum ia menjadi paribbajika.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 102 dan 103 berikut ini:

Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat,

adalah lebih baik satu kata Dhamma,
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran,

namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.



Selasa, 13 Oktober 2015

Dhammapada Atthakatha 102 - Kisah Kundalakesi Theri


Kundalakesi adalah putri orang kaya dari Rajagaha. Ia senang dengan kehidupan menyendiri. Suatu hari ia kebetulan melihat seorang pencuri yang sedang digiring untuk dibunuh, dan ia secara tiba-tiba jatuh cinta padanya. Hal itu disampaikan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya menolak. Tetapi Kundalakesi tak mau mundur setapakpun. Akhirnya orang tuanya mengalah dan membayar sejumlah uang untuk kebebasan pencuri tersebut.

Mereka berdua segera dinikahkan. Meskipun Kundalakesi mencintai suaminya dengan sangat, suaminya tetaplah seorang pencuri, yang hanya tertarik kepada harta dan permatanya.

Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua permatanya dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung. Katanya: “Adinda, aku ingin melakukan persembahan kepada makhluk halus penjaga gunung yang telah menolong hidupku ketika akan dibunuh.”

Kundalakesi menurut dan pergi mengikuti suaminya. Ketika mereka sampai di tujuan, suaminya berkata: “Sekarang kita berdua telah sampai di tujuan. Maka engkau akan kubunuh untuk mendapatkan semua permatamu itu!”

Dengan ketakutan Kundalakesi memohon: “Jangan! Aku jangan kau bunuh, Ambilah semua hartaku, tetapi selamatkanlah nyawaku!”

“Membiarkanmu hidup?” ejek suaminya. “Jangan-jangan nanti engkau malahan melaporkan bahwa permatamu itu kurampas. Tidak bisa! Kau harus kulenyapkan untuk menghilangkan saksi!”
Dalam keputusannya Kundalakesi menyadari bahwa mereka sekarang sedang berada di tepi jurang. Ia berpikir bahwa ia seharusnya berhati-hati dan cerdik. Jika ia mendorong suaminya ke jurang, mungkin merupakan satu kesempatan untuk dapat hidup lebih lama lagi.

Kemudian dengan menghiba ia berkata kepada suaminya: “Kakanda, kita berkumpul bersama-sama ini hanya tinggal beberapa saat lagi. Bagaimanapun juga, engkau adalah suamiku dan orang yang sangat kucintai. Maka, ijinkanlah aku memberikan penghormatan kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Hanya itu saja permintaan terakhirku. Semoga kakanda mau mengabulkan permintaan terakhir isterimu ini.”
Setelah berkata seperti itu, Kundalakesi mengitari laki-laki itu dengan penuh hormat, sampai tiga kali.
Pada kali terakhir, ketika ia berada di belakang suaminya, dengan sepenuh kekuatannya ia mendorong suaminya ke jurang, dan jatuh ke tebing batu yang terjal.

Setelah kejadian itu, ia tidak berkeinginan lagi untuk kembali ke rumah. Ia meninggalkan semua permata-permatanya dengan menggantungnya di sebuah pohon, dan pergi, tanpa tahu kemana ia akan pergi.
Secara kebetulan ia sampai di tempat para pertapa pengembara wanita (paribbajika) dan ia sendiri menjadi seorang pertapa pengembara wanita. Para paribbajika lalu mengajarinya seribu problem pandangan menyesatkan.

Dengan kepandaiannya ia menguasai apa yang diajarkan mereka dalam waktu singkat. Kemudian gurunya berkata kepadanya untuk pergi berkelana dan jika ia menemukan seseorang yang dapat menjawab semua pertanyaannya, jadilah kamu muridnya.

Kundalakesi berkelana ke seluruh Jambudipa, menantang siapa saja untuk berdebat dengannya. Oleh karena itu ia dikenal sebagai “Jabukaparibbajika”.

Pada suatu hari, ia tiba di Savatthi. Sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan, ia membuat sebuah gundukan pasir dan menancapkan sebatang ranting eugenia di atasnya. Suatu tanda yang biasa ia lakukan untuk mengundang orang lain dan menerima tantangannya.
Sariputta Thera menerima tantangannya.

Kundalakesi menanyakan kepadanya seribu pertanyaan dan Sariputta Thera berhasil menjawab semuanya. Ketika giliran Sariputta Thera bertanya kepadanya, Sariputta Thera hanya bertanya seperti ini: “Apa yang satu itu? (Ekam namakim).”

Kundalakesi lama terdiam tidak dapat menjawab. Kemudian ia berkata kepada Sariputta Thera untuk mengajarinya agar ia dapat menjawab pertanyaannya. Sariputta berkata bahwa ia harus terlebih dahulu menjadi seorang bhikkhuni.

Kundalakesi kemudian menjadi seorang bhikkhuni dengan nama Bhikkhuni Kundalakesi. Dengan tekun ia mempraktekkan apa yang diucapkan oleh Sariputta, dan hanya dalam beberapa hari kemudian, ia menjadi seorang arahat.

Tak lama setelah kejadian tersebut, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha: “Apakah masuk akal Bhikkhuni Kundalakesi menjadi seorang arahat setelah hanya sedikit mendengar Dhamma?” Mereka juga menambahkan bahwa wanita tersebut telah berkelahi dan memperoleh kemenangan melawan suaminya, seorang pencuri, sebelum ia menjadi paribbajika.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 102 dan 103 berikut ini:
Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat,
adalah lebih baik satu kata Dhamma,
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran,
namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.



DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA