Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia
dengan kehidupan sebagai bhikkhu. Pada saat itu juga ia merasa tidak tepat dan
memalukan untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan
lebih baik jika ia meninggal dunia. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan
tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak
menggigit. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak
dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini, bhikkhu tersebut dikenal
dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil
pisau cukur untuk memotong tenggorokannya.
Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan
kesucian dari praktek moralnya (sila) sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan
seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha). Kemudian ia
melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan
pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat
kesucian arahat, dan ia pulang kembali ke vihara.
Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya
bertanya kemana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau. Ketika Sang Thera
berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya, mereka
bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukannya.
Ia menjawab, “Saya sebenarnya bermaksud untuk memotong
tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua
kekotoran batin dengan pisau pengetahuan pandangan terang.” Para bhikkhu tidak
mempercayainya, kemudian mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, “Bhante,
bhikkhu ini menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat dengan
menaruh pisau di tenggorokkannya untuk membunuh dirinya sendiri. Apakah mungkin
untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dengan cara demikian
singkat?” Kepada mereka Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, ya, itu mungkin,
untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan
mengembangkan pandangan terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat.
Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan dalam meditasi, ia dapat mencapai
tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 112 berikut:
Walaupun seseorang
hidup seratus tahun,
tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya lebih baik kehidupan
sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar