Laman

Senin, 21 Maret 2016

Dhammapada Atthakata 122 - Kisah Bilalapadaka



Suatu waktu, seseorang yang berasal dari Savatthi, setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, sangat terkesan dan memutuskan untuk menerapkan apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.
Isi khotbah itu adalah memberi dana tidak hanya dilakukan oleh diri sendiri tetapi hendaknya juga menghimbau orang lain untuk melakukannya. Dengan melakukan hal tersebut, seseorang akan memperoleh banyak pahala dan memperoleh banyak pengikut pada kehidupan yang akan datang.
Oleh karena itu orang tersebut mengundang Sang Buddha beserta seluruh bhikkhu yang berdiam di Vihara Jetavana untuk menerima dana makanan keesokan harinya.

Kemudian orang itu pergi ke rumah-rumah tetangganya, dan memberitahu bahwa dana makanan (pindapatta) akan dilakukan keesokan hari kepada Sang Buddha beserta para bhikkhu. Oleh karena itu, siapa yang akan turut berperan-serta tergantung kepada masing-masing orang.
Seorang kaya yang bernama Bilalapadaka melihat laki-laki tersebut pergi berkeliling dari rumah ke rumah. Ia tidak setuju atas kelakuannya itu dan juga merasa tidak senang. Ia menggerutu, “O, orang malang! Kenapa dia tidak mengundang beberapa bhikkhu saja sebanyak kesanggupan dia sendiri memberi dana, daripada pergi berkeliling membujuk orang lain?”

Lalu dia meminta laki-laki itu untuk membawa mangkoknya dan dia memasukkan ke dalam mangkok tersebut sedikit nasi, hanya sedikit mentega, sedikit air dan tebu. Barang tersebut dibawa secara terpisah dan tidak dicampur dengan yang diberikan orang-orang lain.

Orang kaya tersebut tidak mengerti kenapa barang-barangnya diperlakukan secara terpisah. Ia mengira laki-laki tersebut akan memberitahu orang lain bahwa orang kaya seperti dirinya memberi sumbangan hanya sedikit dan membuatnya malu. Oleh karena itu, orang kaya Bilalapadaka mengutus pelayannya untuk menyelidiki.

Penganjur berdana itu meletakkan makanan yang sedikit pemberian orang kaya tersebut ke dalam mangkuk-mangkuk nasi, kari, dan daging manis, agar orang kaya tersebut mendapat banyak pahala. Pelayan orang kaya melaporkan apa yang telah dilihatnya. Tetapi majikannya, Bilalapadaka, tidak mengerti artinya dan tidak yakin maksud penganjur tersebut. Walau demikian, keesokan harinya dia pergi ke tempat di mana dana makanan dilakukan. Pada saat yang sama, dia membawa sebilah pisau yang akan dipergunakan untuk membunuh penganjur, apabila penganjur berdana itu mengumumkan di depan umum betapa sedikit yang diberikan oleh orang kaya seperti dirinya.

Tetapi penganjur berdana ini berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, dana makanan ini merupakan gabungan dari semua, walaupun ada yang memberi banyak atau pun sedikit tidaklah dihitung. Tiap orang dari kami memberi dengan keyakinan dan kerendahan hati. Jadi semoga kami semua memperoleh pahala yang sama.”

Ketika mendengar kalimat tersebut, Bilalapadaka menyadari bahwa dia telah berpikiran keliru terhadap laki-laki itu. Ia merenungkan jika ia tidak mengakui kekeliruannya itu dan memohon penganjur berdana itu untuk memaafkannya, maka dia bisa terlahir di salah satu dari empat alam kehidupan rendah (apaya).

Lalu dia berkata, “Temanku, saya telah melakukan kesalahan besar terhadapmu dengan berpikir keliru tentang kamu, maafkanlah saya.”

Sang Buddha mendengar orang kaya tersebut meminta maaf, dan dari penyelidikannya Beliau mengetahui alasannya. Lalu Sang Buddha berkata, “Pengikutku, kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan baik walau sekecil apapun; perbuatan baik yang kecil akan menjadi besar, jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 122 berikut:

Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil dengan berkata:
“Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat.”
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes,
demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.



Sabtu, 19 Maret 2016

Dhammapada Atthakata 121 - Kisah Bhikkhu Yang Ceroboh



Ada seorang bhikkhu, setelah menggunakan barang-barang perabotan, seperti tempat tidur, kursi panjang, dan peralatan milik vihara, meninggalkannya begitu saja barang-barang itu dengan tidak mengembalikannya ke tempat semula. Membiarkannya terkena hujan dan matahari, dan menjadi sarang semut-semut putih. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menegurnya karena kebiasaannya yang tidak bertanggung jawab, dia akan menjawab dengan cepat dan tajam:

“Saya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan barang-barang tersebut, lagipula barang-barang itu hanya akan mengalami kerusakan kecil”, dan lain-lain. Selanjutnya dia meneruskan kebiasaan yang sama.

Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui hal tersebut, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut:

“Kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan buruk, waktu sekecil apapun, karena itu akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 121 berikut:

Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata:
“Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat”.

Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes, 
demikian pula orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan.



Kamis, 17 Maret 2016

Dhammapada Atthakata 120 - Kisah Anathapindika



Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha.
Dia pergi ke Vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia membawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan, dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.
Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, batinnya tidak terguncang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.

Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata: “Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali.”
Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, makhluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika. Jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.

Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, “Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedagang yang belum dikembalikan kepada Anathapindika, delapan belas crores lainnya disembunyikan oleh leluhur (nenek moyang) Anathapindika, dan telah dihanyutkan ke dalam laut. Dan delapan belas crores lainnya yang bukan milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan batin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya.”

Makhluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya.
Ketika makhluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudra, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum. Kemudian Anathapindika membawa makhluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha.
Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, “Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akibat dari perbuatan jahat untuk selamanya, tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut:

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik, selama buah perbuatan jahatnya belum masak,tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk, selama buah perbuatan bajiknya belum masak,tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.


Makhluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.


Selasa, 15 Maret 2016

Dhammapada Atthakata 119 - Kisah Anathapindika


Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha.
Dia pergi ke Vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia membawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan, dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.
Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, batinnya tidak terguncang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.

Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata: “Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali.”

Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, makhluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika. Jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.
Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, “Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedagang yang belum dikembalikan kepada Anathapindika, delapan belas crores lainnya disembunyikan oleh leluhur (nenek moyang) Anathapindika, dan telah dihanyutkan ke dalam laut. Dan delapan belas crores lainnya yang bukan milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan batin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya.”

Makhluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya.

Ketika makhluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudra, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum. Kemudian Anathapindika membawa makhluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha

Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, “Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akibat dari perbuatan jahat untuk selamanya, tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut:

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik, selama buah perbuatan jahatnya belum masak,

tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.


Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk, selama buah perbuatan bajiknya belum masak,

tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.


Makhluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.


Senin, 14 Maret 2016

Dhammapada Atthakata 118 - Kisah Lajadevadhita



Suatu ketika Mahakassapa Thera sedang berdiam di gua Pippali dan berada dalam suasana batin khusuk bermeditasi mencapai konsentrasi tercerap (samapatti) selama tujuh hari. Segera setelah beliau bangun dari samapatti, beliau berkeinginan memberi kesempatan pada seseorang untuk mendanakan sesuatu kepada orang yang baru bangkit dari samapatti.

Beliau melihat keluar dan menemukan seorang pelayan muda sedang menabur jagung di halaman rumah. Maka Thera berdiri di depan pintu rumahnya untuk menerima dana makanan. Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk Thera. Ketika wanita itu pulang setelah mendanakan jagung kepada thera, dia dipatuk oleh seekor ular berbisa dan meninggal dunia. Dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. “Laja” berarti jagung.

Laja menyadari bahwa dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa karena dia telah berdana jagung kepada Mahakassapa Thera, maka ia sangat menghormati Mahakassapa Thera. Kemudian Laja memutuskan, dia harus melakukan jasa baik kepada Thera agar kebahagiaannya dapat bertahan. Jadi setiap pagi wanita itu pergi ke vihara tempat Thera berdiam, menyapu halaman vihara, mengisi air dalam kolam mandi, dan melakukan jasa-jasa lainnya.

Pada mulanya thera berpikir samanera-samanera yang melakukan pekerjaan tersebut. Tetapi pada suatu hari thera mengetahui yang melakukan pekerjaan tersebut adalah dewi wanita. Kemudian thera memberi tahu dewi wanita tersebut untuk tidak datang ke vihara itu lagi. Orang-orang akan membicarakan hal-hal yang tidak baik jika dia tetap datang ke vihara.

Mendengar hal itu, Lajadevadhita sangat sedih, menangis dan memohon kepada Thera, “Tolong jangan hancurkan kekayaan dan harta benda saya.”

Sang Buddha mendengar tangisannya dan kemudian mengirim cahaya dari kamar harum Beliau dan berkata kepada dewi wanita tersebut, “Devadhita, itu adalah tugas murid-Ku Kassapa untuk melarangmu ke vihara, melakukan perbuatan baik adalah tugas seseorang yang berniat besar memperoleh buah perbuatan baik. Tetapi, sebagai seorang gadis, tidak patut untuk datang sendirian dan melakukan berbagai pekerjaan di vihara.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 118 berikut:

Apabila seseorang berbuat bajik,

hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka cita dengan perbuatannya itu,
sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik.


Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Minggu, 13 Maret 2016

Dhammapada Atthakata 117 - Kisah Seyyasaka Thera



Ketika itu ada seorang Thera yang bernama Seyyasaka yang mempunyai kebiasaan masturbasi. Ketika mendengar hal tersebut, Sang Buddha menegurnya, karena melakukan sesuatu yang mengakibatkan seseorang jauh dari memperoleh magga dan phala. Pada saat itu juga, Sang Buddha menetapkan peraturan larangan menikmati kesenangan seksual bagi para bhikkhu, peraturan sanghadisesa. Pelanggaran (apatti) peraturan itu menyebabkan hukuman dan diskors oleh Sangha. Kemudian Sang Buddha menambahkan, “Jenis pelanggaran ini dapat mengakibatkan hasil perbuatan jahat di dunia ini maupun di masa mendatang.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 117 berikut:

Apabila seseorang berbuat jahat,

hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu,
dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu,
sungguh menyakitkan akibat dari memupuk perbuatan jahat.


Dhammapada Atthakata 116 - Kisah Culekasataka

Di Savatthi berdiam sepasang suami istri brahmana. Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat bersamaan. Jadi, bila si istri pergi mendengarkan khotbah Sang Buddha pada siang hari, maka si suami pergi pada malam hari.

Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan khotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi keriangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang.

Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga, brahmana berkata pada dirinya sendiri, “Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghindar terlahir ke empat alam rendah (Apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha.”
Setelah berkata begitu, dia meletakkan pakaian luarnya ke kaki Sang Buddha dan dia berteriak, “Saya menang! Saya menang! Saya menang!”

Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada diantara para pendengar khotbah. mendengar teriakan tersebut ia menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tersebut telah berbuat sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi penghargaan.
Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha.

Dia mendapat hadiah lagi dari Raja berupa dua potong pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah empat potong lagi.

Jadi dia memberikan kepada sang Buddha apa saja yang diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipat-duakan hadiahnya.
Akhirnya hadiah meningkat menjadi tiga puluh dua potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk istrinya, dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha.

Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benar-benar melakukan suatu perbuatan yang sulit dan juga harus diberi hadiah yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian beludru yang berharga mahal, dan memberikannya kepada brahmana.

Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha tidur, dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan di rumah brahmana.

Ketika raja pergi berkunjung ke Vihara Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini, raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah, empat ekor kuda, empat orang pelayan wanita, empat orang pelayan laki-laki, empat orang pesuruh laki-laki, empat desa, dan empat ribu uang tunai.

Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka bertanya kepada sang Buddha, “Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat?”

Sang Buddha menjawab, “Jika Brahmana memberikan baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadiah enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang.

Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga, jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik, mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak baik.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 116 berikut:


Bergegaslah berbuat kebajikan,

dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan;
barang siapa lamban berbuat bajik,
maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.
DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA