Laman

Jumat, 30 September 2016

Dhammapada Atthakata 168 - Kisah Raja Suddhodana


 
Dhammapada Atthakata 167 - Kisah Raja Suddhodana

Ketika Sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu untuk pertama kalinya Beliau tinggal di Vihara Nigrodharama. Di sana Beliau menjelaskan Dhamma kepada sanak saudaranya. Raja Suddhodana berpikir bahwa Buddha Gotama, yang adalah anaknya sendiri, tidak akan pergi ke tempat lain, tetapi pasti akan datang di istananya untuk menerima dana makanan pada hari berikutnya; tetapi ia tidak dengan resmi mengundang Sang Buddha datang untuk menerima dana makanan. Bagaimanapun, pada hari berikutnya, ia menyediakan dana makanan untuk dua puluh ribu bhikkhu. Pada pagi hari itu Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan bersama dengan rombongan para bhikkhu, seperti kebiasaan semua Buddha.

Yasodhara, istri Pangeran Siddhattha sebelum beliau meninggalkan hidup keduniawian, melihat Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan dari jendela istana. Dia memberitahukan ayah mertuanya, Raja Suddhodana, dan sang raja tergesa-gesa menghampiri Sang Buddha. Raja memberitahukan Sang Buddha bahwa untuk seorang anggota keluarga Kerajaan Khattiya, berkeliling meminta makanan dari pintu ke pintu adalah memalukan. Kemudian Sang Buddha menjawab bahwa itu merupakan kebiasaan semua Buddha untuk berkeliling menerima dana makanan dari rumah ke rumah, dan oleh karena itu adalah benar dan layak bagi Beliau untuk tetap menjaga tradisi itu.


Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 168 dan 169 berikut:


Bangun! Jangan lengah!
Tempuhlah kehidupan benar.
Barang siapa menempuh kehidupan benar,
maka ia akan hidup bahagia
di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.

Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma
dan tak menempuh cara-cara jahat.
Barang siapa hidup sesuai Dhamma,
maka ia akan hidup bahagia di dunia ini
maupun di dunia selanjutnya.


Ayah Buddha Gotama mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Selasa, 27 September 2016

Dhammapada Atthakata 167 - Kisah Seorang Bhikkhu Muda


Dhammapada Atthakata 167 - Kisah Seorang Bhikkhu Muda
Suatu saat seorang bhikkhu muda menemani seorangan bhikkhu tua menuju ke rumah Visakha. Setelah menerima dana makanan, bhikkhu tua pergi ke tempat lain, meninggalkan bhikkhu muda di rumah Visakha. Cucu perempuan Visakha sedang menyaring air untuk bhikkhu muda. Ketika ia melihat bayangannya sendiri pada panci besar ia tersenyum. Melihat ia tersenyum, bhikkhu muda menatapnya dan balas tersenyum. Ketika ia melihat bhikkhu muda itu menatapnya dan tersenyum padanya, ia menjadi marah, dan menangis lalu berkata, “Kamu, kepala gundul! Mengapa kau tersenyum padaku?”

Sang bhikkhu muda menjawab, “Dirimu adalah kepala gundul; ayah dan ibumu juga berkepala gundul!” Kemudian, mereka bertengkar dan sang gadis dengan bercucuran air mata pergi kepada neneknya.

Visakha datang dan berkata kepada bhikkhu muda, “Tolong janganlah marah kepada cucu saya. Bukankah seorang bhikkhu memang berkepala gundul, kuku tangan dan kakinya dipotong, dan memakai jubah yang terbuat dari potongan-potangan kain, bepergian untuk menerima dana makanan dengan sebuah mangkuk yang bundar. Apakah yang telah dikatakan oleh gadis muda ini benar?”

Sang Bhikku muda menjawab, “Itu memang benar, tapi mengapa ia harus memaki saya karena hal tersebut ?” Kemudian bhikkhu yang lebih tua datang kembali, tetapi mereka berdua, Visakha dan bhikkhu tua gagal mendamaikan bhikkhu muda dan sang gadis.
Tidak lama kemudian, Sang Buddha tiba dan mempelajari tentang pertengkaran tadi. Sang Buddha tahu bahwa sudah saatnya bagi bhikkhu muda untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Dalam usaha untuk membuat bhikkhu muda lebih mendengarkan kata-kataNya, Beliau nampaknya berpihak kepadanya dan berkata kepada Visakha, “Visakha ada alasan apa bagi cucumu untuk menegur putraku sebagai seorang berkepala gundul hanya karena ia memiliki kepala yang gundul ? Bagaimanapun, ia menggunduli kepalanya untuk mengikutiKu, bukan ?”

Mendengar kata-kata ini bhikkhu muda berlutut, memberi hormat kepada Sang Buddha, dan berkata, “Bhante, hanya Bhante yang mengerti saya; bukanlah guru saya ataupun dermawan kaya dari vihara ini yang mengerti saya.” Sang Buddha tahu bahwa sang bhikkhu kemudian mau menerima dan Beliau berkata, “Tersenyum penuh hawa nafsu adalah tercela, adalah tidak benar dan tidak pantas memiliki pikiran-pikiran jahat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 167 berikut :

Janganlah mengejar sesuatu yang rendah,
janganlah hidup dalam kelengahan.
Janganlah menganut pandangan-pandangan salah,
dan janganlah menjadi pendukung keduniawian.

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Sumber Text : #SamaggiPhala - #Dhammapada.org

Sabtu, 24 September 2016

Dhammapada Atthakata 166 - Kisah Attadattha Thera


Dhammapada Atthakata 166 - Kisah Attadattha Thera

Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa Beliau akan mencapai parinibbana dalam waktu 4 bulan lagi, banyak bhikkhu puthujjana (bhikkhu-bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian) merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa, lalu mereka berusaha dekat dengan Sang Buddha.

Attadattha, meskipun tidak pergi ke hadapan Sang Buddha, bertekat untuk mencapai tingkat kesucian arahat selama Sang Buddha masih hidup, berusaha keras dalam latihan meditasi. Bhikkhu-bhikkhu lain yang tidak memahaminya, membawanya di hadapan Sang Buddha dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini tidak terlihat mencintai dan memuja-Mu seperti yang kami lakukan, ia hanya menyendiri.” Attadattha Thera kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa ia sedang berusaha untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha mencapai parinibbana, dan itulah alasannya mengapa ia tidak berada dekat Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, barang siapa yang mencintai dan menghormati-Ku seharusnya berkelakuan seperti Attadattha. Kalian tidak menghormat saya hanya dengan memberikan bunga-bunga, wangi-wangian, dupa, atau datang menjenguk-Ku. Kalian memberi penghormatan kepada saya bila mempraktekkan Dhamma yang telah Kuajarkan kepada kalian seperti Lokuttara Dhamma.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 166 berikut :

Jangan karena demi kesejahteraan orang lain
lalu seseorang melalaikan kesejahteraan sendiri.
Setelah memahami tujuan akhir bagi diri sendiri,
hendaklah ia teguh melaksanakan tugas kewajibannya.

Attadattha Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Rabu, 21 September 2016

Dhammapada Atthakata 165 - Kisah Upasaka Culakala


Dhammapada Atthakata 165 - Kisah Upasaka Culakala

Culakala adalah seorang upasaka yang sangat mentaati peraturan uposatha pada hari-hari tertentu dan tinggal sepanjang malam di Vihara Jetavana, untuk mendengarkan uraian Dhamma. Keesokan pagi harinya, ketika ia mencuci muka di kolam dekat vihara, beberapa pencuri meninggalkan seberkas barang curian di dekatnya. Pemilik barang melihat Culakala berada dekat barang-barangnya yang dicuri. Mengira Culakala adalah pencurinya, ia memukulnya dengan keras. Untunglah beberapa pelayan wanita yang datang untuk mengambil air dan menyatakan bahwa mereka mengenalinya, bahwa ia bukanlah pencuri. Kemudian Culakala dilepaskan.

Ketika Sang Buddha mendengar hal tersebut, Beliau berkata kepada Culakala, “Kamu dilepaskan tidak hanya karena pelayan-pelayan wanita berkata bahwa kamu bukanlah pencuri, tetapi juga karena kamu tidak mencuri dan oleh sebab itu kamu tidak bersalah. Barang siapa yang berbuat jahat akan ke alam neraka (niraya), tetapi barang siapa yang berbuat baik akan terlahir kembali di alam sorga (dewa) atau merealisir kebebasan mutlak (nibbana).”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 165 berikut :

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

Upasaka Culakala mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Minggu, 18 September 2016

Dhammapada Atthakata 164 - Kisah Kala Thera


Dhammapada Atthakata 164 - Kisah Kala Thera

Di Savatthi ada seorang wanita tua yang melayani seorang Thera bernama Kala seperti putranya sendiri. Suatu hari, wanita tua ini mendengar dari tetangganya, mengenai kebaikan hati Sang Buddha, ia sangat berharap untuk pergi ke Vihara Jetavana dan mendengarkan khotbah Sang Buddha. Lalu ia mengatakan kepada Kala Thera tentang harapannya tersebut, tetapi Kala Thera menasehatinya untuk tidak melakukan hal itu. Tiga kali wanita tersebut mengatakan kepada Kala Thera mengenai keinginannya tersebut, tetapi Kala Thera selalu mencegahnya.
Pada suatu hari, dengan tidak mengindahkan larangannya, wanita itu memutuskan untuk pergi ke vihara. Setelah meminta putrinya untuk menyediakan kebutuhan Kala Thera, ia meninggalkan rumahnya. Ketika Kala Thera datang saat berkeliling pindapata, ia mengetahui wanita tersebut telah pergi ke Vihara Jetavana. Kemudian ia berpikir, “Kemungkinan wanita di rumah ini telah hilang kepercayaannya kepada saya.” Lalu dengan cepat dan tergesah-gesa ia menyusul wanita tersebut ke vihara. Di sana ia menemukan wanita itu sedang mendengarkan khotbah yang diberkan oleh Sang Buddha. Ia mendekati Sang Buddha dengan perasaan hormat dan berkata. “Bhante, wanita ini sangat bodoh, ia tidak akan mengerti Dhamma yang tinggi, tolong ajari ia hanya mengenai pemberian (dana) dan kesusilaan (sila).”
Sang Buddha mengetahui dengan baik bahwa Kala Thera sedang membicarakan kegusarannya dan mempunyai maksud yang tersembunyi. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Kala Thera, “Bhikkhu ! Karena kamu bodoh dan berpandangan salah, kamu merendahkan ajaran-Ku. Kamu membuat hancur dirimu sendiri; kenyataannya, kamu hanya mencoba untuk menghancurkan dirimu sendiri.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 164 berikut :
Karena pandangan yang salah orang bodoh menghina
ajaran orang mulia, orang suci dan orang bijak.
Ia akan menerima akibatnya yang buruk,
seperti rumput kastha yang berbuah
hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Wanita tua itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.

DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA