Suatu saat seorang bhikkhu
muda menemani seorangan bhikkhu tua menuju ke rumah Visakha. Setelah menerima
dana makanan, bhikkhu tua pergi ke tempat lain, meninggalkan bhikkhu muda di
rumah Visakha. Cucu perempuan Visakha sedang menyaring air untuk bhikkhu muda.
Ketika ia melihat bayangannya sendiri pada panci besar ia tersenyum. Melihat ia
tersenyum, bhikkhu muda menatapnya dan balas tersenyum. Ketika ia melihat
bhikkhu muda itu menatapnya dan tersenyum padanya, ia menjadi marah, dan
menangis lalu berkata, “Kamu, kepala gundul! Mengapa kau tersenyum padaku?”
Sang bhikkhu muda menjawab,
“Dirimu adalah kepala gundul; ayah dan ibumu juga berkepala gundul!” Kemudian,
mereka bertengkar dan sang gadis dengan bercucuran air mata pergi kepada
neneknya.
Visakha datang dan berkata
kepada bhikkhu muda, “Tolong janganlah marah kepada cucu saya. Bukankah seorang
bhikkhu memang berkepala gundul, kuku tangan dan kakinya dipotong, dan memakai
jubah yang terbuat dari potongan-potangan kain, bepergian untuk menerima dana
makanan dengan sebuah mangkuk yang bundar. Apakah yang telah dikatakan oleh
gadis muda ini benar?”
Sang Bhikku muda menjawab,
“Itu memang benar, tapi mengapa ia harus memaki saya karena hal tersebut ?”
Kemudian bhikkhu yang lebih tua datang kembali, tetapi mereka berdua, Visakha
dan bhikkhu tua gagal mendamaikan bhikkhu muda dan sang gadis.
Tidak lama kemudian, Sang
Buddha tiba dan mempelajari tentang pertengkaran tadi. Sang Buddha tahu bahwa
sudah saatnya bagi bhikkhu muda untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Dalam usaha untuk membuat
bhikkhu muda lebih mendengarkan kata-kataNya, Beliau nampaknya berpihak
kepadanya dan berkata kepada Visakha, “Visakha ada alasan apa bagi cucumu untuk
menegur putraku sebagai seorang berkepala gundul hanya karena ia memiliki
kepala yang gundul ? Bagaimanapun, ia menggunduli kepalanya untuk mengikutiKu,
bukan ?”
Mendengar kata-kata ini
bhikkhu muda berlutut, memberi hormat kepada Sang Buddha, dan berkata, “Bhante,
hanya Bhante yang mengerti saya; bukanlah guru saya ataupun dermawan kaya dari
vihara ini yang mengerti saya.” Sang Buddha tahu bahwa sang bhikkhu kemudian
mau menerima dan Beliau berkata, “Tersenyum penuh hawa nafsu adalah tercela,
adalah tidak benar dan tidak pantas memiliki pikiran-pikiran jahat.”
Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 167 berikut :
Janganlah mengejar
sesuatu yang rendah,
janganlah hidup dalam kelengahan.
Janganlah menganut pandangan-pandangan salah,
dan janganlah menjadi pendukung keduniawian.
janganlah hidup dalam kelengahan.
Janganlah menganut pandangan-pandangan salah,
dan janganlah menjadi pendukung keduniawian.
Bhikkhu muda mencapai tingkat
kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Sumber Text : #SamaggiPhala - #Dhammapada.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar