Laman

Kamis, 13 Juni 2019

Dhammapada Atthakata 208 - Kisah Sakka


Kira-kira sepuluh bulan sebelum Sang Buddha merealisasi kebebasan akhir (parinibbana), Beliau melaksanakan masa vassa di Veluva, sebuah desa dekat Vesali. Ketika bertempat tinggal di sana, Beliau mengalami sakit desentri. Ketika Dewa Sakka mengetahui Sang Buddha sakit, dia datang ke desa Veluva untuk merawat Sang Buddha selama sakit.

Sang Buddha berkata kepadanya, agar jangan mengkhawatirkan perihal kesehatan Beliau, karena terdapat banyak bhikkhu di dekat Beliau. Tetapi Sakka tidak mendengarkan-Nya dan tetap merawat Sang Buddha hingga sembuh.

Para bhikkhu terkesan dan kagum mengetahui Sakka sendiri yang merawat Sang Buddha. Ketika Sang Buddha mendengar kata-kata para bhikkhu, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Tidaklah mengagetkan perihal cinta kasih dan bakti Sakka kepada Saya. Pernah, ketika Sakka yang dulu bertambah tua dan akan meninggal dunia, dia datang menjumpai Saya. Kemudian Saya menjelaskan Dhamma kepadanya. Saat mendengarkan Dhamma dia mencapai tingkat kesucian sotapatti; kemudian dia meninggal dunia dan lahir kembali sebagai Sakka yang sekarang. Semua yang terjadi kepadanya adalah sederhana karena dia mendengarkan Dhamma yang telah Saya jelaskan. Sesungguhnya para bhikkhu, adalah baik bertemu dengan orang suci (ariya); adalah berbahagia dapat tinggal bersama mereka; tinggal bersama orang bodoh sesungguhnya adalah menderita.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 206, 207, dan 208 berikut ini :

Bertemu dengan para ariya adalah baik,
tinggal bersama mereka merupakan suatu kebahagiaan,
orang akan selalu berbahagia
bila tak menjumpai orang bodoh.


Seseorang yang sering bergaul dengan orang bodoh
pasti akan meratap lama sekali.
Karena bergaul dengan orang bodoh
adalah penderitaan seperti tinggal bersama musuh.
Tetapi, siapa yang tinggal bersama orang bijaksana
akan berbahagia,
sama seperti sanak keluarga yang kumpul bersama.


Karena itu, ikutilah orang yang pandai, bijaksana,
terpelajar, tekun, patuh dan mulia;
hendaklah engkau selalu dekat dengan
orang yang bajik dan pandai seperti itu,
bagaikan bulan mengikuti peredaran bintang.



Rabu, 12 Juni 2019

Dhammapada Atthakata 207 - Kisah Sakka


Kira-kira sepuluh bulan sebelum Sang Buddha merealisasi kebebasan akhir (parinibbana), Beliau melaksanakan masa vassa di Veluva, sebuah desa dekat Vesali. Ketika bertempat tinggal di sana, Beliau mengalami sakit desentri. Ketika Dewa Sakka mengetahui Sang Buddha sakit, dia datang ke desa Veluva untuk merawat Sang Buddha selama sakit.

Sang Buddha berkata kepadanya, agar jangan mengkhawatirkan perihal kesehatan Beliau, karena terdapat banyak bhikkhu di dekat Beliau. Tetapi Sakka tidak mendengarkan-Nya dan tetap merawat Sang Buddha hingga sembuh.

Para bhikkhu terkesan dan kagum mengetahui Sakka sendiri yang merawat Sang Buddha. Ketika Sang Buddha mendengar kata-kata para bhikkhu, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Tidaklah mengagetkan perihal cinta kasih dan bakti Sakka kepada Saya. Pernah, ketika Sakka yang dulu bertambah tua dan akan meninggal dunia, dia datang menjumpai Saya. Kemudian Saya menjelaskan Dhamma kepadanya. Saat mendengarkan Dhamma dia mencapai tingkat kesucian sotapatti; kemudian dia meninggal dunia dan lahir kembali sebagai Sakka yang sekarang. Semua yang terjadi kepadanya adalah sederhana karena dia mendengarkan Dhamma yang telah Saya jelaskan. Sesungguhnya para bhikkhu, adalah baik bertemu dengan orang suci (ariya); adalah berbahagia dapat tinggal bersama mereka; tinggal bersama orang bodoh sesungguhnya adalah menderita.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 206, 207, dan 208 berikut ini :

Bertemu dengan para ariya adalah baik,
tinggal bersama mereka merupakan suatu kebahagiaan,
orang akan selalu berbahagia
bila tak menjumpai orang bodoh.


Seseorang yang sering bergaul dengan orang bodoh
pasti akan meratap lama sekali.

Karena bergaul dengan orang bodoh
adalah penderitaan seperti tinggal bersama musuh.
Tetapi, siapa yang tinggal bersama orang bijaksana
akan berbahagia,
sama seperti sanak keluarga yang kumpul bersama.


Karena itu, ikutilah orang yang pandai, bijaksana,
terpelajar, tekun, patuh dan mulia;
hendaklah engkau selalu dekat dengan
orang yang bajik dan pandai seperti itu,



bagaikan bulan mengikuti peredaran bintang.

Selasa, 11 Juni 2019

Dhammapada Atthakata 206 - Kisah Sakka



Kira-kira sepuluh bulan sebelum Sang Buddha merealisasi kebebasan akhir (parinibbana), Beliau melaksanakan masa vassa di Veluva, sebuah desa dekat Vesali. Ketika bertempat tinggal di sana, Beliau mengalami sakit desentri. Ketika Dewa Sakka mengetahui Sang Buddha sakit, dia datang ke desa Veluva untuk merawat Sang Buddha selama sakit.

Sang Buddha berkata kepadanya, agar jangan mengkhawatirkan perihal kesehatan Beliau, karena terdapat banyak bhikkhu di dekat Beliau. Tetapi Sakka tidak mendengarkan-Nya dan tetap merawat Sang Buddha hingga sembuh.

Para bhikkhu terkesan dan kagum mengetahui Sakka sendiri yang merawat Sang Buddha. Ketika Sang Buddha mendengar kata-kata para bhikkhu, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Tidaklah mengagetkan perihal cinta kasih dan bakti Sakka kepada Saya. Pernah, ketika Sakka yang dulu bertambah tua dan akan meninggal dunia, dia datang menjumpai Saya. Kemudian Saya menjelaskan Dhamma kepadanya. Saat mendengarkan Dhamma dia mencapai tingkat kesucian sotapatti; kemudian dia meninggal dunia dan lahir kembali sebagai Sakka yang sekarang. Semua yang terjadi kepadanya adalah sederhana karena dia mendengarkan Dhamma yang telah Saya jelaskan. Sesungguhnya para bhikkhu, adalah baik bertemu dengan orang suci (ariya); adalah berbahagia dapat tinggal bersama mereka; tinggal bersama orang bodoh sesungguhnya adalah menderita.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 206, 207, dan 208 berikut ini :

Bertemu dengan para ariya adalah baik,

tinggal bersama mereka merupakan suatu kebahagiaan,
orang akan selalu berbahagia
bila tak menjumpai orang bodoh.


Seseorang yang sering bergaul dengan orang bodoh

pasti akan meratap lama sekali.

Karena bergaul dengan orang bodoh

adalah penderitaan seperti tinggal bersama musuh.
Tetapi, siapa yang tinggal bersama orang bijaksana
akan berbahagia,
sama seperti sanak keluarga yang kumpul bersama.


Karena itu, ikutilah orang yang pandai, bijaksana,
terpelajar, tekun, patuh dan mulia;

hendaklah engkau selalu dekat dengan
orang yang bajik dan pandai seperti itu,
bagaikan bulan mengikuti peredaran bintang.


Senin, 10 Juni 2019

Dhammapada Atthakata 205 - Kisah Tissa Thera



Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa dalam waktu empat bulan lagi Beliau akan merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana), banyak bhikkhu puthujjana gelisah. Mereka kehilangan dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Maka, mereka selalu berada dekat dengan Sang Buddha. Tetapi, Tissa Thera memutuskan bahwa dia akan mencapai tingkat kesucian arahat pada saat Sang Buddha masih hidup.

Dia tidak pergi ke dekat Sang Buddha, tetapi dia pergi ke suatu tempat menyendiri untuk berlatih meditasi. Bhikkhu-bhikkhu lain tidak mengerti hal itu, sehingga mereka membawa Tissa Thera menghadap Sang Buddha, dan mereka berkata, “Bhante, bhikkhu ini tidak kelihatan menghargai dan menghormati Bhante, dia hanya peduli pada dirinya sendiri, tidak kepada kehadiran Bhante.”

Tissa Thera kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa dia berusaha keras untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha mangkat (parinibbana), dan itulah alasannya mengapa dia tidak datang mendekati Sang Buddha.

Setelah mendengar penjelasan itu, Sang Buddha berkata pada para bhikkhu, “Para bhikkhu, siapapun yang mencintai dan menghormati saya, seharusnya berbuat seperti Tissa Thera. Kalian menghormati Saya jangan hanya dengan mempersembahkan bunga, wewangian, dan dupa. Tetapi hendaknya kalian menghormati Saya dengan mempraktekkan Lokuttara-Dhamma, yaitu meditasi pandangan terang (vipassana-bhavana).”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 205 berikut :

Setelah mencicipi rasa penyepian dan ketentraman,
maka ia akan bebas dari duka-cita dan tidak ternoda,
serta mereguk kebahagiaan dalam Dhamma.


Minggu, 09 Juni 2019

Dhammapada Atthakata 204 - Kisah Raja Pasenadi dari Kosala



Suatu hari raja Pasenadi dari Kosala pergi ke Vihara Jetavana setelah menyelesaikan makan pagi. Dikatakan raja telah memakan seperempat keranjang (kira-kira setengah gantang) nasi dengan kari daging pada hari itu. Maka pada saat mendengarkan khotbah Sang Buddha, dia tertidur dan mengantuk sepanjang waktu. Melihat dia mengantuk, Sang Buddha menasehati dia untuk memakan sedikit nasi setiap harinya, dan mengurangi sedikit demi sedikit nasi setiap hari sehingga mencapai jumlah minimum dari seperenambelas jumlah nasi yang biasa dimakan.

Raja melaksanakan nasehat yang dikatakan Sang Buddha. Dengan memakan sedikit nasi, dia menjadi kurus, dan merasa sangat ringan. Raja menikmati kesehatan yang lebih baik.
Ketika dia mengabarkan hal itu kepada Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, “O Raja! kesehatan adalah anugerah yang besar, kepuasan adalah kekayaan yang besar, kepercayaan adalah kerabat terbaik, nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 204 berikut :

Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar.
Kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga.
Kepercayaan adalah saudara yang paling baik.
Nibbana adalah kebahagiaan yang tertinggi.



Sabtu, 08 Juni 2019

Dhammapada Atthakata 203 - Kisah Seorang Murid Awam



Suatu hari Sang Buddha mengetahui dari penglihatan-Nya bahwa terdapat seorang laki-laki miskin yang akan mampu mencapai tingkat kesucian sotapatti di desa Alavi. Maka sang Buddha pergi ke desa tersebut yang berjarak 30 yojana dari Savatthi.

Pada dini hari laki-laki tersebut kehilangan kerbau, maka dia pergi mencari kerbaunya. Sementara itu, dana makanan sedang diberikan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu di sebuah rumah di desa Alavi. Setelah bersantap, orang-orang bersiap untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha; tetapi Sang Buddha menunggu laki-laki itu.

Setelah menemukan kerbaunya, laki-laki itu datang dengan berlari-lari ke rumah tempat Sang Buddha berada. Laki-laki tersebut letih dan lapar, maka Sang Buddha meminta pada pendana yang berada di situ untuk memberi makan kepada laki-laki tersebut. Setelah laki-laki tersebut selesai makan, Sang Buddha memberikan khotbah, menjelaskan Dhamma tahap demi tahap, dan akhirnya sampai pada penjelasan tentang ‘Empat Kebenaran Mulia’. Murid awam tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti pada saat khotbah berakhir.

Setelah itu Sang Buddha dan para bhikkhu pulang kembali ke Vihara Jetavana. Dalam perjalanan pulang, para bhikkhu berkata, sangat mengagetkan Sang Buddha meminta makanan pada pendana makanan untuk memberikan makanan kepada laki-laki muda sebelum Beliau mulai khotbah.

Mendengar perkataan tersebut, Sang Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, apa yang kamu katakan adalah benar, tetapi kamu tidak mengerti mengapa Saya datang ke tempat itu, yang berjarak 30 yojana; karena Saya mengetahui bahwa ia dalam kondisi siap menerima Dhamma. Jika ia merasa sangat lapar, rasa sakit kelaparan itu akan menghalangi ia menerima Dhamma secara utuh. Laki-laki itu telah bepergian mencari kerbaunya sepanjang pagi, oleh karena itu ia sangat letih dan juga sangat lapar. Para bhikkhu, dari semuanya, tidak ada penderitaan yang sangat sulit ditanggung seperti kelaparan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 203 berikut :

Kelaparan merupakan penyakit yang paling berat.

Segala sesuatu yang berkondisi
merupakan penderitaan yang paling besar.
Setelah mengetahui hal ini sebagaimana adanya,
orang bijaksana memahami bahwa
nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi.


Jumat, 07 Juni 2019

Dhammapada Atthakata 202 - Kisah Pengantin Muda Wanita



Pada hari pernikahan seorang wanita muda, orang tua pengantin wanita mengundang Sang Buddha dan delapan puluh bhikkhu untuk menerima dana makanan. Melihat gadis di rumahnya membantu mempersembahkan dana makanan, pengantin pria sangat gembira dan dia dapat sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya. Sang Buddha mengetahui dengan pasti perasaan pengantin laki-laki itu. Pada saat itu, pengantin laki-laki dan pengantin wanita sudah siap untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, Sang Buddha membuat pengantin wanita tidak tampak oleh pengantin laki-laki. Saat laki-laki muda itu tidak lagi melihat pengantin wanita, dia dapat mencurahkan perhatiannya kepada Sang Buddha, sehingga hormatnya kepada Sang Buddha bertambah kuat.

Kemudian Sang Buddha berkata pada laki-laki muda itu, “O anak muda, tidak ada api yang menyamai nafsu, tidak ada kejahatan yang menyamai marah dan benci, tidak ada penderitaan yang menyamai kemelekatan lima kelompok kehidupan (khandha), tidak ada kebahagiaan yang menyamai ‘Kedamaian Abadi’ (nibbana).”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 202 berikut:

Tiada api yang menyamai nafsu;
tiada kejahatan yang menyamai kebencian;
tiada penderitaan yang menyamai kelompok kehidupan (khandha);
dan tiada kebahagiaan yang lebih tinggi
daripada ‘Kedamaian Abadi’ (nibbana).


Pengantin laki-laki maupun wanita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah mendengar khotbah Dhamma itu berakhir.

Kamis, 06 Juni 2019

Dhammapada Atthakata 201 - Kisah Kekalahan Raja Kosala



Dalam pertempuran melawan Ajatasattu, Raja Kosala kalah tiga kali. Ajatasattu adalah anak dari Raja Bimbisara dan Ratu Vedehi, saudara perempuan dari Raja Kosala. Raja Kosala malu dan sangat sedih atas kekalahannya. Kemudian dia mengeluh, “Sungguh memalukan! Saya bahkan tidak dapat menaklukkan anak yang masih berbau susu ibunya. Lebih baik saya meninggal dunia.” Merasa sedih dan sangat malu raja menolak makan, dan terus berbaring.

Berita tentang kesedihan sang raja menyebar seperti api yang liar dan ketika Sang Buddha mendengar perihal itu, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Pada diri seseorang yang menang, permusuhan dan kebencian meningkat, seseorang yang dikalahkan akan menderita kesakitan dan kesukaran.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 201 berikut :

Kemenangan menimbulkan kebencian,
dan yang kalah hidup dalam penderitaan.
Setelah dapat melepaskan diri dari kemenangan dan kekalahan,
orang yang penuh damai akan hidup bahagia


Dhammapada Atthakata 200 - Kisah Mara



Pada suatu kesempatan, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, melihat lima ratus gadis dari desa Pancasala yang akan mencapai tingkat kesucian sotapatti. Oleh karena itu, Sang Buddha pergi dan tinggal di dekat desa tersebut. Kelima ratus gadis pergi mandi ke sungai; setelah selesai mandi mereka pergi ke desa dengan berpakaian lengkap, karena hari itu adalah hari festival.

Pada waktu bersamaan, Sang Buddha memasuki desa Pancasala untuk berpindapatta, tetapi tidak seorangpun penduduk desa memberi dana kepada Sang Buddha karena mereka telah dipengaruhi oleh Mara.

Pada saat perjalanan pulang Sang Buddha bertemu dengan Mara, yang dengan cepat bertanya pada Sang Buddha apakah Sang Buddha sudah menerima dana makanan cukup.
Sang Buddha melihat kedatangan Mara bersamaan dengan kegagalan Beliau untuk mendapatkan dana makanan pada hari itu dan berkata, “Kamu Mara jahat, adalah kamu yang menyuruh penduduk desa untuk menolak saya. Karena kau telah mempengaruhi mereka untuk tidak memberi dana makanan pada saya. Apakah saya bersalah?”

Mara tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi dia berpikir akan memperolok Sang Buddha dengan membujuknya kembali ke desa, sehingga penduduk desa akan menghina Sang Buddha dengan memperolok-olokNya. Maka Mara menyarankan, “O Buddha, mengapa Engkau tidak kembali ke desa lagi? Kali ini Engkau pasti akan mendapatkan makanan.”
Sejenak kemudian, kelima ratus gadis desa tiba di tempat itu dan menghormat Sang Buddha. Di tengah kehadiran mereka, Mara mengejek Sang Buddha, “O Buddha, Engkau tidak menerima dana makanan pagi ini, Engkau pasti merasa sakit karena kelaparan!”

Kepada Mara, Sang Buddha menjawab, “O Mara jahat, meskipun kami tidak mendapatkan makanan, seperti Brahma Abhassara yang hidup dengan kepuasan yang sangat menyenangkan (piti) dan kebahagiaan (sukha) pemusatan pikiran (jhana), kami hidup dengan kepuasan yang menyenangkan dan kabahagiaan Dhamma.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 200 berikut :

Sungguh bahagia hidup kita ini
apabila sudah tidak terikat lagi oleh rasa ingin memiliki.
Kita akan hidup dengan bahagia
bagaikan dewa-dewa di alam yang cemerlang.


Lima ratus gadis mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Dhammapada Atthakata 199 - Kisah Kesabaran Kerabat Sang Buddha


Kapilavatthu, kota suku Sakya; dan Koliya, kota suku Koliya, terletak di sisi-sisi sungai Rohini. Petani kedua kota bekerja di ladang yang diairi oleh sungai tersebut. Suatu tahun mereka memperoleh hujan yang tidak cukup, sehingga padi serta hasil panen lainnya mulai layu. Petani di kedua sisi sungai ingin mengalirkan air dari sungai Rohini ke ladang mereka masing-masing. Penduduk Koliya mengatakan bahwa air sungai itu tidak cukup untuk mengairi dua sisi, dan jika mereka dapat melipatgandakan aliran air ke ladang mereka, barulah itu akan cukup untuk mengairi padi sampai menguning.

Pada sisi lain, penduduk Kapivatthu menolak hal itu, apabila mereka tidak mendapatkan air, dapat dipastikan hasil panen mereka akan gagal, dan mereka akan terpaksa membeli beras orang lain. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak siap membawa uang dan barang barang berharga ke seberang sungai untuk ditukar dengan makanan.
Kedua pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka masing-masing, sehingga tumbuh keinginan jahat. Mereka saling memaki dan menantang. Pertengkaran antar petani itu sampai didengar oleh para menteri negara masing-masing, dan mereka melaporkan kejadian tersebut kepada pemimpin mereka masing-masing, sehingga orang-orang di kedua sisi sungai siap bertempur.

Sang Buddha melihat sekeliling dunia dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui kerabat-kerabat Beliau pada kedua sisi sungai akan bertempur, Beliau memutuskan untuk mencegahnya. Seorang diri Sang Buddha ke tempat mereka dengan melalui udara, dan segera berada di tengah sungai. Kerabat-kerabat Beliau melihat Sang Buddha, dengan penuh kesucian dan kedamaian duduk di atas mereka, melayang di udara. Mereka meletakkan senjatanya ke samping dan menghormat kepada Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha berkata pada mereka, “Demi keperluan sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai. Kenapa kalian melakukan tindakan yang bodoh ini? Jika Saya tidak menghentikan kalian hari ini, darah kalian akan mengalir seperti air di sungai sekarang. kalian hidup dengan saling membenci; kalian akan menderita karena kekotoran batin, tetapi Saya sudah bebas darinya; kalian berusaha memiliki kesenangan hawa nafsu, tetapi Saya sudah tidak berusaha untuk itu.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 197, 198, dan 199 berikut ini :

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci
di antara orang-orang yang membenci;
di antara orang-orang yang membenci,
kita hidup tanpa benci.

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit
di antara orang-orang yang berpenyakit;
di antara orang-orang yang berpenyakit,
kita hidup tanpa penyakit.

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan
di antara orang-orang yang serakah;
di antara orang-orang yang serakah,
kita hidup tanpa keserakahan.

Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Dhammapada Atthakata 198 - Kisah Kesabaran Kerabat Sang Buddha


Kapilavatthu, kota suku Sakya; dan Koliya, kota suku Koliya, terletak di sisi-sisi sungai Rohini. Petani kedua kota bekerja di ladang yang diairi oleh sungai tersebut. Suatu tahun mereka memperoleh hujan yang tidak cukup, sehingga padi serta hasil panen lainnya mulai layu. Petani di kedua sisi sungai ingin mengalirkan air dari sungai Rohini ke ladang mereka masing-masing. Penduduk Koliya mengatakan bahwa air sungai itu tidak cukup untuk mengairi dua sisi, dan jika mereka dapat melipatgandakan aliran air ke ladang mereka, barulah itu akan cukup untuk mengairi padi sampai menguning.

Pada sisi lain, penduduk Kapivatthu menolak hal itu, apabila mereka tidak mendapatkan air, dapat dipastikan hasil panen mereka akan gagal, dan mereka akan terpaksa membeli beras orang lain. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak siap membawa uang dan barang-barang berharga ke seberang sungai untuk ditukar dengan makanan.
Kedua pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka masing-masing, sehingga tumbuh keinginan jahat. Mereka saling memaki dan menantang. Pertengkaran antar petani itu sampai didengar oleh para menteri negara masing-masing, dan mereka melaporkan kejadian tersebut kepada pemimpin mereka masing-masing, sehingga orang-orang di kedua sisi sungai siap bertempur.
Sang Buddha melihat sekeliling dunia dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui kerabat-kerabat Beliau pada kedua sisi sungai akan bertempur, Beliau memutuskan untuk mencegahnya. Seorang diri Sang Buddha ke tempat mereka dengan melalui udara, dan segera berada di tengah sungai. Kerabat-kerabat Beliau melihat Sang Buddha, dengan penuh kesucian dan kedamaian duduk di atas mereka, melayang di udara. Mereka meletakkan senjatanya ke samping dan menghormat kepada Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha berkata pada mereka, “Demi keperluan sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai. Kenapa kalian melakukan tindakan yang bodoh ini? Jika Saya tidak menghentikan kalian hari ini, darah kalian akan mengalir seperti air di sungai sekarang. kalian hidup dengan saling membenci; kalian akan menderita karena kekotoran batin, tetapi Saya sudah bebas darinya; kalian berusaha memiliki kesenangan hawa nafsu, tetapi Saya sudah tidak berusaha untuk itu.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 197, 198, dan 199 berikut ini :

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci
di antara orang-orang yang membenci;
di antara orang-orang yang membenci,
kita hidup tanpa benci.

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit
di antara orang-orang yang berpenyakit;
di antara orang-orang yang berpenyakit,
kita hidup tanpa penyakit.

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan
di antara orang-orang yang serakah;
di antara orang-orang yang serakah,
kita hidup tanpa keserakahan.

Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Dhammapada Atthakata 197 - Kisah Kesabaran Kerabat Sang Buddha


Kapilavatthu, kota suku Sakya; dan Koliya, kota suku Koliya, terletak di sisi-sisi sungai Rohini. Petani kedua kota bekerja di ladang yang diairi oleh sungai tersebut. Suatu tahun mereka memperoleh hujan yang tidak cukup, sehingga padi serta hasil panen lainnya mulai layu. Petani di kedua sisi sungai ingin mengalirkan air dari sungai Rohini ke ladang mereka masing-masing. Penduduk Koliya mengatakan bahwa air sungai itu tidak cukup untuk mengairi dua sisi, dan jika mereka dapat melipatgandakan aliran air ke ladang mereka, barulah itu akan cukup untuk mengairi padi sampai menguning.

Pada sisi lain, penduduk Kapivatthu menolak hal itu, apabila mereka tidak mendapatkan air, dapat dipastikan hasil panen mereka akan gagal, dan mereka akan terpaksa membeli beras orang lain. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak siap membawa uang dan barang-barang berharga ke seberang sungai untuk ditukar dengan makanan.
Kedua pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka masing-masing, sehingga tumbuh keinginan jahat. Mereka saling memaki dan menantang. Pertengkaran antar petani itu sampai didengar oleh para menteri negara masing-masing, dan mereka melaporkan kejadian tersebut kepada pemimpin mereka masing-masing, sehingga orang-orang di kedua sisi sungai siap bertempur.

Sang Buddha melihat sekeliling dunia dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui kerabat-kerabat Beliau pada kedua sisi sungai akan bertempur, Beliau memutuskan untuk mencegahnya. Seorang diri Sang Buddha ke tempat mereka dengan melalui udara, dan segera berada di tengah sungai. Kerabat-kerabat Beliau melihat Sang Buddha, dengan penuh kesucian dan kedamaian duduk di atas mereka, melayang di udara. Mereka meletakkan senjatanya ke samping dan menghormat kepada Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha berkata pada mereka, “Demi keperluan sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai. Kenapa kalian melakukan tindakan yang bodoh ini? Jika Saya tidak menghentikan kalian hari ini, darah kalian akan mengalir seperti air di sungai sekarang. kalian hidup dengan saling membenci; kalian akan menderita karena kekotoran batin, tetapi Saya sudah bebas darinya; kalian berusaha memiliki kesenangan hawa nafsu, tetapi Saya sudah tidak berusaha untuk itu.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 197, 198, dan 199 berikut ini :

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membencidi antara orang-orang yang membenci;di antara orang-orang yang membenci,kita hidup tanpa benci.

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit

di antara orang-orang yang berpenyakit;
di antara orang-orang yang berpenyakit,
kita hidup tanpa penyakit.

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan

di antara orang-orang yang serakah;
di antara orang-orang yang serakah,
kita hidup tanpa keserakahan.




Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA DHAMMAPADA ATTHAKATA