Suatu
hari, tinggallah di Savatti, seorang bhikkhu senior yang bernama
Samgharakkhita. Ketika kakak perempuannya melahirkan anak laki-laki, ia memberi
nama anaknya Samgharakkhita Bhagineyya. Keponakan Samgharakkhita, pada waktu itu,
juga memasuki pasamuan sangha.
Ketika
bhikkhu muda tinggal di suatu vihara desa, ia diberi dua buah jubah, dan ia
bermaksud memberikan satu jubah kepada pamannya, Samgharakkhita Thera. Akhir
masa vassa, bhikkhu muda itu pergi ke pamannya untuk memberi hormat kepadanya
dan memberikan jubah. Tetapi pamannya menolak untuk menerima jubah itu, dan
berkata bahwa ia sudah mempunyai cukup. Walaupun bhikkhu muda mengulangi lagi
permintaannya, pamannya tetap tidak mau. Bhikkhu muda itu merasa sakit hati dan
berpikir bahwa sejak saat itu pamannya tidak sudi untuk berbagi kebutuhan
dengannya. Akan lebih baik baginya untuk meninggalkan pasamuan Sangha dan hidup
sebagai seorang perumah tangga.
Dari
masalah itu, pikirannya mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain.
Ia berpikir bahwa setelah meninggalkan pasamuan Sangha, ia akan menjual
jubahnya dan membeli seekor kambing betina. Kambing betina itu akan segera
melahirkan anak. Anak-anak kambing dijual dan segera ia akan mempunyai uang
cukup untuk menikah. Istrinya akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia akan
membawa istri dan anaknya dengan sebuah kereta kecil untuk mengunjungi pamannya
di vihara. Dalam perjalanan, ia akan berkata bahwa ia akan menggendong anaknya.
Tetapi istrinya berkata kepadanya agar ia mengendarai kereta saja dan jangan
mengurusi anak. Ia bersikeras dan merebut anak dari istrinya. Sewaktu terjadi
perebutan, anak itu terjatuh dan terlindas roda kereta. Dengan marah ia memukul
istrinya dengan cemeti.
Pada
saat itu ia membelakangi pamannya dengan memegang kipas daun palm dan ia dengan
tidak sengaja memukul kepala pamannya dengan kipasnya. Samgharakkhita tua
mengetahui pikiran bhikkhu muda itu dan berkata, “Kamu tidak sanggup menghajar
istrimu; mengapa kamu menghajar seorang bhikkhu tua?” Samgharakkhita muda
sangat terkejut dan malu atas kata-kata bhikkhu tua itu. Ia juga menjadi sangat
ketakutan dan kemudian melarikan diri. Bhikkhu-bhikkhu muda lainnya dan penjaga
vihara mengejarnya dan akhirnya membawanya kehadapan Sang Buddha.
Ketika
membicarakan seluruh kisah bhikkhu muda itu, Sang Buddha berkata bahwa pikiran
memiliki kemampuan untuk berpikir pada suatu objek yang berkepanjangan, dan
seseorang seharusnya berusaha keras untuk bebas dari belenggu keinginan,
kebencian, dan kegelapan bathin.
Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 37 berikut ini:
Pikiran itu selalu mengembara jauh,
tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati.
Mereka yang dapat mengendalikannya,
akan bebas dari jeratan Mara.
Bhikkhu
muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar