Kisah ini merupakan yang mendasari munculnya syair Dhammapada Yamaka Vagga ayat 14, yang sering disebut juga syair - syair berpasangan.
Berikut adalah kisah tersebut.
Suatu
ketika Sang Buddha menetap di Vihara Veluvana, Rajagaha. Waktu itu ayah-Nya,
Raja Suddhodana, berulangkali mengirim utusan kepada Sang Buddha, meminta
beliau mengunjungi kota Kapilavatthu. Memenuhi permintaan ayahnya, Sang Buddha
mengadakan perjalanan dengan diikuti oleh sejumlah besar arahat.
Saat
tiba di Kapilavatthu, Sang Buddha bercerita tentang Vessantara
Jataka di hadapan pertemuan
saudara-saudaranya. Pada hari kedua, Sang Buddha memasuki kota, dengan
mengucapkan syair berawal “Uttitthe Nappamajjeyya…” (artinya seseorang harus sadar dan tidak
seharusnya menjadi tidak waspada…). Beliau menyebabkan ayah-Nya mencapai
tingkat kesucian sotapatti.
Ketika
tiba di dalam istana, Sang Buddha mengucapkan syair lainnya berawal “Dhammam Care
Sucaritam…” (artinya seseorang
seharusnya mempraktekkan Dhamma…), dan sang raja berhasil mencapai tingkat
kesucian sakadagami.
Setelah
bersantap makanan, Sang Buddha menceritakan tentang Candakinnari
Jataka, berkenaan kisah
kebajikan ibunya Rahula.
Pada
hari ketiga, di istana berlangsung upacara pernikahan Pangeran Nanda, sepupu
Sang Buddha. Sang Buddha pergi ke sana untuk menerima dana makanan
(pindapatta), dan memberikan mangkok-Nya kepada pangeran Nanda. Kemudian Sang
Buddha pergi meninggalkannya tanpa meminta kembali mangkok-Nya.
Karena
itu sang pangeran, sambil memegangi mangkok, berjalan mengikuti Sang Buddha.
Pengantin putri, Janapadakalyani, melihat sang pangeran pergi mengikuti Sang
Buddha, terus berlari dan berteriak pada sang pangeran untuk kembali
secepatnya. Ketika tiba di vihara, Sang Pangeran diterima dalam Sangha sebagai
seorang bhikkhu.
Kemudian
Sang Buddha berpindah ke vihara yang didirikan oleh Anathapindika, di hutan
Jeta dekat Savatthi.
Selama
tinggal di sana Nanda merasa tidak senang, dan setengah kecewa serta menemukan
sedikit kesenangan dalam hidup sebagai seorang bhikkhu. Ia ingin kembali pada
kehidupan berumah-tangga, karena ia terus teringat kata-kata dari Putri
Janapadakalyani, memohonnya untuk kembali secepatnya. Hatinya menjadi goyah.
Dan semakin goyah.
Mengetahui
hal tersebut, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa, memperlihatkan
kepada Nanda beberapa dewi yang cantik dari surga Tavatimsa, jauh lebih cantik
daripada putri Janapadakalyani.
Sang
Buddha bertanya kepada Nanda, “Siapakah yang lebih cantik, putri
Janapadakalyani atau para dewi yang berdiri di hadapanmu itu?”
“Tentu
saja mereka jauh lebih cantik dibandingkan dengan putri Janapadakalyani,” jawab
Nanda.
Sang
Buddha berkata lagi kepada Nanda, “Apabila engkau tekun dalam mempraktekkan
Dhamma, Aku berjanji untuk membantumu memiliki dewi-dewi itu.”
Mendengar
pernyataan itu, Nanda tertarik dan sekali lagi berjanji akan mematuhi Sang
Buddha.
Bhikkhu-bhikkhu
yang lain menertawakan Nanda, dengan berkata bahwa ia seperti orang bayaran,
yang mempraktekkan Dhamma demi memperoleh wanita cantik, dan sebagainya.
Nanda
merasa sangat tertekan dan malu. Karena itu dalam kesendirian, ia mencoba
dengan keras mempraktekkan Dhamma, dan akhirnya mencapai tingkat kesucian
arahat.
Sebagai
seorang arahat, batinnya bebas dari semua ikatan dan keinginan. Dan Sang Buddha
juga bebas dari janji-Nya kepada Nanda. Semua ini telah diketahuiNya sejak
awal.
Bhikkhu-bhikkhu
yang lainnya, yang semula mengetahui bahwa Nanda tidak gembira menjalani hidup
sebagai bhikkhu, kembali bertanya bagaimana ia bisa mengatasinya.
Nanda
Thera menjawab, bahwa sekarang ia tidak lagi terikat dengan kehidupan
berumah-tangga. Mereka berpikir Nanda tidak berkata yang sebenarnya. Karena itu
mereka mencari keterangan perihal masalah itu kepada Sang Buddha, dengan
menyatakan keragu-raguan mereka.
Sang
Buddha menjelaskan kepada mereka bahwa sebelumnya, kenyataan alamiah Nanda,
sama seperti atap rumah yang bocor, tetapi sekarang rumah itu telah dibangun
dengan atap rumah yang baik.
Penjelasan
itu diakhiri dengan syair 13 dan 14 berikut ini:
Bagaikan hujan,
yang dapat menembus rumah beratap tiris.
demikian pula nafsu,
akan dapat menembus pikiran yang tidak dikembangkan dengan baik.
yang dapat menembus rumah beratap tiris.
demikian pula nafsu,
akan dapat menembus pikiran yang tidak dikembangkan dengan baik.
Bagaikan hujan,
yang tidak dapat menembus rumah beratap baik.
demikian pula nafsu,
tidak dapat menembus pikiran yang telah dikembangkan dengan baik.
yang tidak dapat menembus rumah beratap baik.
demikian pula nafsu,
tidak dapat menembus pikiran yang telah dikembangkan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar