Bendahara Kerajaan di
Rajagaha, mempunyai dua orang cucu laki-laki bernama Mahapanthaka dan
Culapanthaka. Mahapanthaka, yang tertua, selalu menemani kakeknya mendengarkan
khotbah Dhamma. Kemudian Mahapanthaka bergabung menjadi murid Sang Buddha.
Culapanthaka mengikuti
jejak kakaknya menjadi bhikkhu pula. Tetapi, karena pada kehidupannya yang
lampau, pada masa keberadaan Buddha Kassapa, Culapanthaka telah menggoda
seorang bhikkhu yang sangat bodoh, maka dia dilahirkan sebagai orang dungu pada
kehidupannya saat ini. Dia tidak mampu mengingat, meskipun hanya satu syair
dalam empat bulan. Mahapanthaka sangat kecewa dengan adiknya dan mengatakan
bahwa adiknya tidak berguna.
Suatu waktu, Jivaka
datang ke vihara mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu yang ada, untuk
berkunjung makan siang di rumahnya. Mahapanthaka, yang diberi tugas untuk
memberitahu para bhikkhu tentang undangan makan siang tersebut, mencoret
Culapanthaka dari daftar undangan. Ketika Culapanthaka mengetahui hal itu, dia
merasa sangat kecewa dan memutuskan untuk kembali hidup sebagai seorang perumah
tangga.
Mengetahui keinginan
tersebut, Sang Buddha membawanya dan menyuruhnya duduk di depan Gandhakuti.
Kemudian Beliau memberikan selembar kain bersih kepada Culapanthaka, dan menyuruhnya
untuk duduk menghadap ke timur dan menggosok-gosok kain itu. Pada waktu
bersamaan, dia harus mengulang kata “Rajoharanam”, yang berarti “kotor”. Sang
Buddha kemudian pergi ke tempat kediaman Jivaka, menemani para bhikkhu.
Culapanthaka mulai
menggosok selembar kain tersebut, sambil mengucapkan “Rajoharanam”. Berulang
kali kain itu digosok, dan berulang kali pula kata-kata rajoharanam meluncur
dari mulutnya.
Berulang dan berulang
kali.
Karena terus menerus
digosok, kain tersebut menjadi kotor. Melihat perubahan yang terjadi pada kain
tersebut, Culapanthaka tercenung. Ia segera menyadari ketidakkekalan segala
sesuatu yang berkondisi.
Dari rumah Jivaka,
Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui kemajuan Culapanthaka.
Beliau dengan kekuatan supranaturalnya menemui Culapanthaka, sehingga
seolah-olah Beliau tampak duduk di depan Culapanthaka, dan berkata:
“Tidak hanya selembar
kain yang dikotori oleh debu; dalam diri seseorang ada debu hawa nafsu (raga),
debu keinginan jahat (dosa), dan debu ketidaktahuan (moha), seperti
ketidaktahuan akan empat kesunyataan mulia. Hanya dengan menghapuskan hal-hal
tersebut, seseorang dapat mencapai tujuannya dan mencapai arahat.”
Culapanthaka
mendengarkan pesan tersebut dan meneruskan bermeditasi. Dalam waktu yang
singkat mata batinnya terbuka, dan ia mencapai tingkat kesucian arahat,
bersamaan dengan memiliki “Pandangan Terang Analitis”. Maka Culapanthaka tidak
lagi menjadi orang dungu.
Di rumah Jivaka, para
umat menuang air sebagai tanda telah melakukan perbuatan dana, tetapi Sang
Buddha menutup mangkoknya dengan tangan dan berkata bahwa masih ada bhikkhu
yang ada di vihara. Semuanya mengatakan bahwa tidak ada bhikkhu yang
tertinggal. Sang Buddha menjawab bahwa masih ada satu orang bhikkhu yang
tertinggal dan memerintahkan untuk menjemput Culapanthaka di vihara.
Ketika pembawa pesan
dari rumah Jivaka tiba di vihara, dia menemukan tidak hanya satu orang, tetapi
ada seribu orang bhikkhu yang serupa. Mereka semua diciptakan oleh
Culapanthaka, yang sekarang telah memiliki kekuatan supranatural. Utusan
tersebut kagum, dan dia pulang kembali dan melaporkan hal ini kepada Jivaka.
Utusan itu kembali
diutus ke vihara untuk kedua kalinya, dan diperintahkan untuk mengatakan bahwa
Sang Buddha mengundang bhikkhu yang bernama Culapnthaka. Tetapi ketika dia
menyampaikan pesan tersebut, seribu suara menjawab, “Saya adalah Culapanthaka.”
Dengan bingung, dia kembali ke rumah Jivaka untuk kedua kalinya.
Untuk ketiga kalinya
dia diperintahkan untuk menarik bhikkhu yang dilihatnya pertama kali mengatakan
bahwa dia adalah Culapanthaka. Dengan cepat dia memegangnya dan semua bhikkhu
yang lain menghilang, dan Culapanthaka menemani utusan tersebut ke rumah
Jivaka.
Setelah makan siang,
seperti yang diperintahkan oleh Sang Buddha, Culapanthaka menyampaikan khotbah
Dhamma, khotbah tentang keyakinan dan keberanian, mengaum bagaikan raungan
seekor singa muda. Ketika masalah Culapanthaka dibicarakan di antara para
bhikkhu, Sang Buddha berkata bahwa seseorang yang rajin dan tetap pada
perjuangannya, akan mencapai tingkat kesucian arahat.
Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 25 berikut ini:
Dengan
usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri,
hendaklah orang bijaksana,
membuat pulau bagi dirinya sendiri,
yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir.
hendaklah orang bijaksana,
membuat pulau bagi dirinya sendiri,
yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar