Suatu
saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang berpakaian buruk berjalan meminta
makanan. Beliau merasa iba melihat pemuda tersebut, dan mengajaknya menjadi
seorang samanera. Samanera muda tersebut meninggalkan pakaian dan mangkuknya
pada sebuah dahan pohon. Ketika ditahbis menjadi seorang bhikkhu ia dikenal
dengan nama Pilotikatissa.
Sebagai
seorang bhikkhu, ia tidak kekurangan makanan dan pakaian. Namun pada suatu saat
ia merasa tidak bahagia hidup sebagai seorang bhikkhu dan berkeinginan kembali
hidup sebagai umat biasa. Ketika perasaannya timbul, ia pergi ke pohon dimana
ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya.
Ketika
sampai di sana, timbul pertanyaan dalam hatinya, “Oh, orang tak tahu malu,
apakah engkau mau meninggalkan kedamaian demi pakaian dan mangkuk? Apakah
engkau masih mau memakai pakaian kotor dan mangkuk tua di tanganmu?” Kemudian
ia memarahi diri sendiri. Setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara.
Dua
atau tiga hari setelah kejadian tersebut, perasaan itu timbul kembali. Ia
kemudian pergi ke pohon itu kembali dan bertanya pada dirinya sendiri perihal
pertanyaan yang sama. Seperti kejadian pertama, ia memarahi dirinya sendiri dan
setelah menenangkan diri, ia kembali ke vihara. Kejadian ini terulang beberapa
kali.
Ketika
bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepadanya, mengapa ia sering pergi ke pohon
tersebut, ia memberitahu mereka bahwa ia pergi menemui gurunya (dianggap
sebagai “guru”, karena membuat ia malu dan kembali ke jalan yang benar).
Dengan
tetap memikirkan pakaian dan mangkuk sebagai objek meditasi, ia menyadari
hakikat dari corak kenyataan kelompok kehidupan/khanda (sebagai tidak
kekal/anicca, tidak memuaskan/dukkha, tidak ada aku/anatta), yang
mengkondisikan ia mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian ia tidak lagi
pergi ke pohon “guru”.
Melihat
hal itu, bhikkhu-bhikkhu lain bertanya kepada Pilotikatissa: “Mengapa engkau
tidak pergi menemui gurumu lagi?”
Kepada
mereka ia menjawab: “Saat saya membutuhkan, saya akan pergi kepadanya, tapi
saat ini saya sudah tidak mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya.”
Saat
mendengar jawaban tersebut, bhikkhu-bhikkhu itu membawa Pilotikatissa menghadap
Sang Buddha. Saat mereka tiba, mereka memberi hormat kepada Sang Buddha dan
berkata, “Bhante, bhikkhu ini mengaku telah mencapai tingkat kesucian arahat,
ia pasti telah berbohong.”
Akan
tetapi Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, Pilotikatissa tidak berbohong, ia
berkata benar. Walaupun ia mempunyai hubungan baik dengan gurunya saat lalu,
namun saat ini ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan gurunya. Pilotikatissa
Thera telah memiliki pengertian membedakan penyebab yang benar dan yang salah
serta menyadari corak kenyataan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Sekarang
ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu ia tidak memiliki
hubungan lagi dengan gurunya.”
Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 143 dan 144 berikut ini:
Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang
yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat,
yang senantiasa waspada,
bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari
cemeti.
Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik,
walaupun sekali saja merasakan cambukan,
segera menjadi bersemangat dan berlari cepat,
demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan,
memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar,
dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta
memiliki kesadaran,
akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar