Suatu saat, ada seorang bhikkhu muda di Vihara
Jetavana. Suatu hari gurunya mengirim bhikkhu itu ke vihara lain untuk belajar.
Ketika ia sedang pergi, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia tanpa diketahui
bhikkhu muda itu. Tetapi ayahnya meninggalkan uang seratus kahapana kepada
saudara lelakinya, paman bhikkhu muda itu. Pada saat bhikkhu muda kembali,
pamannya menceritakan tentang kematian ayahnya dan tentang uang seratus
kahapana yang ditinggalkan untuknya. Mulanya, ia berkata bahwa ia tidak
memerlukan uang tersebut. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin lebih baik kembali
pada kehidupan berumahtangga, dan akibatnya ia menjadi tidak puas dengan
kehidupan seorang bhikkhu. Pelan-pelan ia mulai kehilangan ketertarikan pada
hidupnya dan juga kehilangan berat badannya. Ketika para bhikkhu yang lain tahu
tentang hal ini, mereka membawanya menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha bertanya kepadanya bahwa apakah benar ia
merasa tidak bahagia dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu dan apakah ia
memiliki modal untuk memulai kehidupan sebagai seorang berumahtangga.
Ia menjawab benar dan ia memiliki uang seratus
kahapana untuk memulai kehidupannya. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepadanya
bahwa ia akan membutuhkan makanan, pakaian, perabot rumah tangga, dua ekor
lembu jantan, bajak-bajak, pangkur-pangkur, pisau-pisau, dan lain sebagainya,
sehingga uang tunai seratus itu akan sangat sulit menutupi biaya-biaya
tersebut.
Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya bahwa bagi
kehidupan manusia tidak akan pernah cukup, tidak terkecuali bagi kehidupan raja
dunia yang dapat mendatangkan hujan uang atau mutiara, sejumlah kekayaan
lainnya dan harta karun pada setiap saat.
Lebih lanjut, Sang Buddha menceritakan sebuah cerita
tentang Mandatu, raja dunia, yang menikmati kebahagiaan hidup surgawi di alam
surga Catumaharajika dan Tavatimsa secara bersamaan untuk waktu yang lama.
Setelah menghabiskan waktu yang lama di surga Tavatimsa, suatu hari Mandatu
berkeinginan untuk menjadi satu-satunya penguasa surga Tavatimsa , daripada
membagi kekuasaan dengan Sakka. Tapi pada saat itu, keinginannya tidak dapat
dipenuhi dan serta merta ia menjadi tua dan lemah, ia kembali ke alam manusia
dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 186 dan 187
berikut ini :
Bukan dalam hujan emas
dapat ditemukan kepuasan nafsu indria.
Nafsu indria hanya merupakan kesenangan sekejap
yang membuahkan penderitaan.
dapat ditemukan kepuasan nafsu indria.
Nafsu indria hanya merupakan kesenangan sekejap
yang membuahkan penderitaan.
Bagi orang bijaksana yang dapat memahami,
hal itu tidak membuatnya bergembira
bila mendapat kesenangan surgawi sekalipun.
Siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna bergembira
dalam penghancuran nafsu-nafsu keinginan.
hal itu tidak membuatnya bergembira
bila mendapat kesenangan surgawi sekalipun.
Siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna bergembira
dalam penghancuran nafsu-nafsu keinginan.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar