Aggidatta adalah seorang kepala pendeta selama
pemerintahan Raja Mahakosala, ayah dari raja Pasenadi. Setelah kematian Raja
Mahakosala, Aggidatta mendanakan kekayaannya, dan meninggalkan rumah menjadi
seorang pertapa non-Buddhis. Ia tinggal bersama dengan sepuluh ribu orang
pengikutnya di sebuah tempat dekat perbatasan antara tiga kerajaan Anga,
Magadha dan Kuru, tidak jauh dari sebuah bukit pasir, dimana tinggal seekor
naga yang buas. Kepada pengikut-pengikutnya dan orang-orang di ketiga kerajaan
ini, Aggidatta mendesak, “Sembahlah hutan-hutan, gunung-gunung, kebun-kebun dan
taman-taman, serta pohon-pohon; dengan melakukan ini, kamu terbebas dari segala
penyakit di dunia ini.”
Suatu hari, Sang Buddha melihat Aggidatta dan para
pengikutnya dalam pandangan-Nya dan menyadari bahwa sudah tiba saatnya bagi
mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha mengutus
Maha Moggallana Thera menemui Aggidatta dan para pengikutnya serta mengatakan
kepadanya bahwa ia sendiri akan menjadi pengikutnya.
Maha Moggallana Thera pergi ke tempat Aggidatta dan
para pengikutnya serta meminta mereka untuk memberikannya tempat menginap
semalam. Mulanya mereka menolak permintaannya, tetapi akhirnya mereka setuju
untuk membiarkannya bermalam di bukit pasir, rumah sang naga. Sang naga sangat
tidak menyukai Maha Moggallana Thera, dan kemudian yang terjadi adalah adu
kekuatan antara naga dan thera, pada dua sisi, terdapat tontonan kesaktian
pancaran asap dan lidah api. Bagaimanapun juga, akhirnya sang naga dapat
ditaklukkan. Ia menggulung dirinya mengitari bukit pasir tersebut, dan
menegakkan kepalanya serta melebarkannya seperti sebuah payung di atas Maha
Moggallana Thera, menunjukkan rasa hormat kepadanya.
Pagi-pagi sekali, Aggidatta dan para pertapa lainnya
datang ke bukit pasir untuk mengetahui apakah Maha Moggallana Thera masih
hidup, mereka berharap melihatnya sudah meninggal dunia. Ketika mereka
mengetahui sang naga telah jinak, dan tanpa perlawanan membiarkan kepalanya
seperti sebuah payung di atas tubuh Maha Moggallana Thera mereka amat sangat
terkejut.
Sesaat kemudian, Sang Buddha tiba dan Maha Moggallana
Thera berdiri dari tempat duduknya di bukit pasir dan memberikan penghormatan
kepada Sang Buddha. Kemudian Maha Moggallana Thera mengumumkan kepada para
pertapa, “Inilah Guru saya, Sang Buddha Yang Maha Suci, dan saya adalah murid
yang rendah dari Guru Agung ini!”
Mendengarnya, para pertapa yang sangat terkesan oleh
kesaktian Maha Moggallana Thera terpesona oleh kesaktian Sang Buddha. Kemudian
Sang Buddha bertanya kepada Aggidatta apa yang telah diajarkan kepada
pengikut-pengikutnya dan para penduduk yang saling bertetangga.
Aggidatta menjawab bahwa ia telah mengajarkan kepada
mereka untuk memberi hormat kepada gunung-gunung, hutan-hutan, kebun-kebun dan
taman-taman, serta pohon-pohon, dan dengan melakukan hal tersebut, mereka akan
terbebas dari segala penyakit di dunia ini.
Jawaban Sang Buddha kepada Aggidatta adalah,
“Aggidatta, orang-orang pergi ke gunung-gunung, hutan-hutan, taman-taman dan
kebun-kebun, serta pohon-pohon untuk mengungsi ketika mereka terancam bahaya,
tetapi benda-benda ini tidak dapat memberikan perlindungan. Hanya mereka yang
berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha akan terbebas dari proses lingkaran
kehidupan (samsara).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 188, 189, 190,
191 dan 192 berikut ini :
Karena rasa takut,
banyak orang pergi mencari perlindungan ke gunung-gunung,
ke arama-arama (hutan buatan), ke pohon-pohon
dan ke tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.
Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman,
bukanlah perlindungan yang utama.
Dengan mencari perlindungan seperti itu,
orang tidak akan bebas dari penderitaan.
Ia yang telah berlindung kepada
Buddha, Dhamma dan Sangha,
dengan bijaksana dapat melihat
Empat Kebenaran Mulia, yaitu:
Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha,
serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan
yang menuju pada akhir dukkha.
Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama.
Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu,
orang akan bebas dari segala penderitaan.
Pada akhir khotbah Dhamma itu, Aggidatta dan seluruh
pengikutnya mencapai tingkat kesucian arahat.
Mereka semua menjadi bhikkhu. Pada hari itu, ketika
para murid Aggidatta dari Anga, Magadha dan Kuru datang untuk memberi
penghormatan kepadanya, mereka melihat gurunya dan para pengikutnya berpakaian
bhikkhu, mereka menjadi bingung dan heran, “Siapa yang lebih sakti? Guru kami
atau Samana Gotama? Guru kami pasti lebih sakti karena Samana Gotama telah
datang kepada guru kami.”
Sang Buddha tahu apa yang sedang mereka pikirkan,
Aggidatta juga merasa bahwa ia harus menenangkan pikiran mereka, maka ia
menghormati Sang Buddha dihadapan murid-muridnya, dan berkata, “Bhante, Andalah
guru saya! saya hanyalah seorang murid-Mu.” Seluruh muridnya yang hadir
menyadari kemuliaan Sang Buddha.