Kisah ini merupakan yang mendasari munculnya syair Dhammapada Yamaka Vagga ayat 9, yang sering disebut juga syair - syair berpasangan.
Berikut adalah kisah tersebut.
Suatu
ketika kedua murid utama Sang Buddha; Yang Ariya Sariputta dan Yang Ariya Maha
Moggallana, pergi dari Savatthi menuju Rajagaha. Di sana, orang-orang Rajagaha
mengundang mereka, bersama seribu pengikut mereka, untuk menerima makan pagi.
Pada
kesempatan itu seseorang menyerahkan selembar kain, seharga seratus ribu,
kepada penyelenggara upacara untuk didanakan. Dia mengharapkan mereka mengatur
dan menggunakan pemberiannya untuk upacara itu. Kalau masih terdapat kelebihan,
diberikan kepada siapa saja dari para bhikkhu yang dianggap layak. Hal itu juga
terjadi jika tidak terdapat kekurangan, maka kain tersebut akan diberikan pada
salah satu dari para thera. Karena kedua murid utama mengunjungi Rajagaha,
hanya pada saat-saat tertentu, maka kain itu akan diberikan pada Devadatta,
yang tinggal menetap di Rajagaha.
Devadatta
segera membuat kain itu menjadi jubah-jubah dan dengan bangga ia memakainya.
Kemudian seorang bhikkhu yang dapat dipercaya dari Rajagaha, datang ke Savatthi
memberi hormat kepada Sang Buddha, dan menceritakan kepada-Nya tentang
Devadatta dan jubah yang terbuat dari kain seharga seratus ribu.
Sang
Buddha berkata bahwa kejadian itu bukan yang pertama kali, Devadatta telah
memakai jubah-jubah yang tidak patut diterimanya. Sang Buddha kemudian
menghubungkannya dengan kisah berikut ini.
Devadatta
pernah menjadi pemburu gajah pada salah satu kehidupannya yang lampau. Pada
waktu itu, dalam hutan tertentu, terdapat sekelompok besar gajah. Suatu hari,
sang pemburu memperhatikan gajah-gajah ini berlutut kepada Paccekabuddha.
Setelah mengamatinya, sang pemburu mencuri bagian paling atas dari jubah
kuning, lalu menutupi badannya dan memegangnya. Kemudian dengan memegang tombak
pada tangannya, dia menunggu gajah-gajah pada jalur yang biasa dilewati.
Gajah-gajah datang dan menganggapnya seorang Pacekabuddha, gajah-gajah itu
berlutut dengan membungkukkan badan untuk memberi hormat.
Mereka
dengan mudah menjadi mangsa bagi sang pemburu. Ia bunuh gajah-gajah pada
barisan terakhir satu per satu setiap harinya, dan hal itu dilakukannya hingga
berhari-hari.
Sang
Bodhisatta (calon Buddha) adalah pemimpin dari kawanan gajah itu, saat
mengetahui kekurangan jumlah pengikutnya, dia memutuskan untuk menyelidiki dan
mengikuti kawanannya pada akhir dari barisan. Dia telah berjaga-jaga, dan oleh
karena itu dapat menghindari tombak. Dia menangkap sang pemburu dengan
belalainya dan melemparkan pemburu itu ke tanah. Melihat jubah kuning, dia
berhenti dan menyelamatkan hidup sang pemburu.
Sang
pemburu tidak berhasil membunuh dengan menggunakan tipuan jubah kuning, dan
perilaku seperti itu adalah perbuatan buruk. Sang pemburu jelas tidak berhak
memakai jubah kuning.
Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 9 dan 10 berikut ini:
Barang siapa yang belum bebas,
dari kekotoran-kekotoran batin.
yang tidak memiliki pengendalian diri,
serta tidak mengerti kebenaran.
sesungguhnya tidak patut,
ia mengenakan jubah kuning.
dari kekotoran-kekotoran batin.
yang tidak memiliki pengendalian diri,
serta tidak mengerti kebenaran.
sesungguhnya tidak patut,
ia mengenakan jubah kuning.
Tetapi, ia yang telah dapat,
membuang kekotoran-kekotoran batin,
teguh dalam kesusilaan.
memiliki pengendalian diri.
serta mengerti kebenaran.
maka sesungguhnya ia patut,
mengenakan jubah kuning.
membuang kekotoran-kekotoran batin,
teguh dalam kesusilaan.
memiliki pengendalian diri.
serta mengerti kebenaran.
maka sesungguhnya ia patut,
mengenakan jubah kuning.
Banyak
para bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah
Dhamma itu berakhir.