Kisah ini merupakan yang mendasari munculnya syair Dhammapada Yamaka Vagga ayat 7, yang sering disebut juga syair - syair berpasangan. Berikut adalah kisah tersebut.
Mahakala
dan Culakala adalah dua saudagar bersaudara dari kota Setabya. Suatu ketika
dalam perjalanan membawa barang-barang dagangannya, mereka berkesempatan untuk
mendengarkan khotbah Dhamma yang diberikan oleh Sang Buddha. Setelah mendengarkan
khotbah tersebut, Mahakala memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai
salah satu anggota pasamuan bhikkhu. Culakala juga ikut bergabung dalam anggota
Sangha, tetapi dengan tujuan berkenalan dengan para bhikkhu dan menjaga
saudaranya.
Mahakala
bersungguh-sungguh dalam latihan pertapaannya di kuburan (Sosanika Dhutanga),
dan tekun bermeditasi dengan objek kelapukan dan ketidak-kekalan. Akhirnya ia
memperoleh “Pandangan Terang” dan mencapai tingkat kesucian arahat.
Di
dalam perjalanan-Nya, Sang Buddha bersama murid-murid-Nya, termasuk Mahakala
dan Culakala, singgah di hutan Simsapa, dekat Setabya. Ketika berdiam di sana,
bekas istri-istri Culakala mengundang Sang Buddha beserta murid-murid beliau ke
rumah mereka untuk menerima dana makanan. Culakala sendiri terlebih dulu pulang
untuk mempersiapkan tempat duduk bagi Sang Buddha dan murid-murid-Nya.
Kesempatan
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh bekas istri-istri Culakala untuk
merayunya, agar ia mau kembali kepada mereka. “Kakanda, alangkah kurusnya
engkau sekarang. Tentu selama ini kakanda sangat menderita. Mari, adinda
bersedia memijit kakanda untuk menghilangkan lelah, seperti dahulu kala. O,
kakanda, marilah kita bergembira seperti dahulu lagi.”
Pada
dasarnya Culakala memang tidak tekun dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
kewajibannya sebagai bhikkhu. Mendengar berbagai rayuan dan rangsangan,
batinnya tidak kuat. Nafsunya tergugah, tanpa pikir panjang lagi dilemparkannya
jubahnya dan kembalilah ia kepada kehidupan duniawi, sebagai perumah tangga.
Melihat
para istri Culakala berhasil mendapatkan suaminya kembali, para istri Mahakala
pun tidak mau kalah. Pada hari berikutnya, bekas istri-istri Mahakala
mengundang Sang Buddha bersama murid-murid-Nya ke rumah mereka, dengan harapan
mereka dapat melakukan hal yang sama terhadap Mahakala.
Setelah
berdana makanan, mereka meminta kepada Sang Buddha untuk membiarkan Mahakala
tinggal sendirian untuk melakukan pelimpahan jasa (anumodana). Sang Buddha
mengabulkan. Bersama murid-murid lain beliau meninggalkan tempat tersebut.
Sewaktu
tiba di pintu gerbang dusun, para bhikkhu mengungkapkan kekhawatiran dan
keprihatinan mereka. Mereka merasa khawatir karena Mahakala telah diijinkan
untuk tinggal sendiri. Mereka merasa takut kalau terjadi sesuatu, seperti
Culakala saudaranya, sehingga Mahakala juga akan memutuskan untuk meninggalkan
pasamuan bhikkhu, kembali hidup bersama bekas istri-istrinya.
Terhadap
hal ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa kedua saudara itu tidak sama. Culakala
masih menuruti kesenangan nafsu keinginan, malas, dan lemah; dia seperti pohon
lapuk. Mahakala sebaliknya. Tekun, mantap, dan kuat dalam keyakinannya terhadap
Buddha, Dhamma dan Sangha; dia seperti gunung karang.
Kemudian
Sang Buddha membabarkan Syair 7 dan 8 berikut ini:
Seseorang yang hidupnya hanya ditujukan pada
hal-hal yang menyenangkan,
yang inderanya tidak terkendali,
yang makannya tidak mengenal batas,
malas serta tidak bersemangat,
maka Mara (Penggoda) akan menguasai dirinya.
bagaikan angin yang menumbangkan pohon yang lapuk.
Seseorang yang hidupnya tidak ditujukan pada
hal-hal yang menyenangkan,
yang inderanya terkendali,
sederhana dalam makanan,
penuh keyakinan serta bersemangat,
maka Mara (Penggoda) tidak dapat menguasai dirinya.
bagaikan angin yang tidak dapat menumbangkan gunung karang.
Saat
itu bekas istri-istri Mahakala mengelilinginya dan berusaha agar Mahakala
melepaskan jubah kuningnya. Mahakala mengetahui upaya mereka, maka ia tetap
berdiam diri saja. Tetapi, istri-istrinya berusaha lebih keras lagi. Melihat
itu, Mahakala merasa tak ada gunanya lagi berdiam disitu. Ia berdiri, dengan
kemampuan batin luar biasa, ia melesat ke angkasa melewati atap rumah. Ia tiba
tepat di bawah kaki Sang Buddha saat beliau tengah mengakhiri pembabaran dua
syair di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar