Citta,
seorang perumah tangga, suatu hari berjumpa dengan Mahanama Thera, salah
seorang dari lima bhikkhu pertama (pancavaggiya), yang sedang berpindapatta,
dan mengundang thera tersebut ke rumahnya.
Di
sana, ia mendanakan makanan kepada thera tersebut dan setelah mendengarkan
khotbah yang disampaikan oleh Mahanama Thera, Citta mencapai tingkat kesucian
sotapatti.
Kemudian,
Citta membangun sebuah vihara di kebun mangganya. Di sana, ia memenuhi
kebutuhan semua bhikkhu yang datang ke viharanya dan bhikkhu Sudhamma tinggal
di tempat itu.
Suatu
hari, dua orang murid utama Sang Buddha, Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha
Moggallana, datang ke vihara tersebut. Setelah mendengarkan khotbah yang
disampaikan oleh Y.A. Sariputta, Citta mencapai tingkat kesucian anagami.
Kemudian,
ia mengundang dua murid utama sang Buddha tersebut ke rumahnya untuk menerima
dana makan esok hari. Ia juga mengundang bhikkhu Sudhamma, tetapi beliau
menolak dengan marah dan berkata, “Kamu mengundangku setelah mengundang dua
bhikkhu tersebut.”
Citta
mengulang kembali undangannya, tetapi undangan tersebut ditolak. Walaupun
demikian bhikkhu Sudhamma pergi ke rumah Citta pagi-pagi keesokan harinya.
Ketika dipersilahkan masuk, Sudhamma menolak dan berkata bahwa dia tidak akan
duduk karena dia sedang berpindapatta.
Ketika
dia melihat makanan yang didanakan kepada dua orang murid utama Sang Buddha,
dia sangat iri dan tidak dapat menahan kemarahannya. Dia mencaci Citta dan
berkata, “Aku tidak ingin tinggal lebih lama di viharamu!” dan meninggalkan
rumah tersebut dengan penuh kemarahan.
Dari
sana, dia mengunjungi Sang Buddha dan melaporkan segala yang telah terjadi.
Kepadanya, Sang Buddha berkata, “Kamu telah menghina seorang umat awam yang
berdana dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati. Kamu lebih baik kembali ke
sana dan mengakui kesalahanmu.” Sudhamma melakukan apa yang telah dikatakan
oleh Sang Buddha, tetapi Citta tidak menghiraukan; maka dia kembali menghadap
Sang Buddha untuk ke dua kalinya. Sang Buddha, mengetahui bahwa kesombongan
Sudhamma telah berkurang pada waktu itu. Kemudian Beliau berkata, “Anakku,
seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak terikat dengan berkata, “ini adalah
viharaku, ini tempatku, dan ini adalah muridku,” dan sebagainya, dengan
berpikir demikian keterikatan dan kesombongan akan bertambah.”
Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 73 dan 74 berikut ini:
Seorang bhikkhu yang bodoh,
menginginkan ketenaran yang keliru,
ingin menonjol di antara para bhikkhu,
ingin berkuasa dalam vihara-vihara,
dan ingin dihormati oleh semua keluarga.
“Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir
bahwa hal ini hanya dilakukan olehku,
dalam semua pekerjaan besar atau kecil mereka menunjuk diriku,”
demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu,
dan keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.
Setelah
khotbah dhamma itu berakhir, Sudhamma pergi ke rumah Citta, dan pada saat itu
mereka dapat berdamai. Dalam waktu tidak beberapa lama, Sudhamma mencapai
tingkat kesucian arahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar