Upananda
adalah seorang pengkhotbah yang sangat pandai. Ia memberikan pelajaran kepada
orang lain untuk tidak tamak, dan hanya memiliki sedikit keinginan. Ia pun
berbicara dengan fasih tentang manfaat kepuasan, kehematan, dan praktek hidup
sederhana. Akan tetapi ia tidak pernah mempraktekkan apa yang diajarkannya
kepada orang lain. Ia mengambil untuk dirinya sendiri seluruh jubah dan
keperluan-keperluan lain yang diberikan oleh umat.
Suatu
ketika Upananda pergi ke sebuah vihara desa sesaat sebelum tiba masa vassa.
Beberapa bhikkhu muda terkesan oleh kepandaiannya memberi khotbah, dan meminta
kepadanya untuk bervassa di vihara mereka. Ia menanyakan kepada mereka berapa
jubah biasanya yang diterima setiap bhikkhu sebagai dana pada saat akhir vassa
di vihara mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka biasanya menerima satu jubah
untuk tiap bhikkhu. Maka ia tidak jadi menetap di vihara tersebut, tetapi ia
meninggalkan sandalnya di vihara tersebut.
Pada
vihara berikutnya, ia mengetahui bahwa para bhikkhu menerima dua jubah untuk
masing-masing bhikkhu sebagai dana pada akhir masa vassa. Di sana ia
meninggalkan tongkatnya. pada vihara berikutnya, para bhikkhu menerima tiga
jubah masing-masing bhikkhu sebagai dana pada akhir masa vassa, di sana ia
meninggalkan botol airnya. Akhirnya, di vihara dimana masing-masing bhikkhu
menerima empat jubah, ia memutuskan untuk tinggal selama masa vassa.
Pada
akhir masa vassa, ia menuntut bagian jubahnya di vihara-vihara di mana ia
meninggalkan barang-barang pribadinya. Kemudian dia mengumpulkan semua
barang-barangnya dalam sebuah kereta dan kembali ke vihara lamanya. Dalam
perjalanan ia bertemu dua bhikkhu muda yang sedang berdebat perihal pembagian
dua jubah dan sebuah selimut dari beludru yang ada pada mereka. Karena mereka
tidak memperoleh kesepakatan bersama, mereka bertanya kepada Upananda bagaimana
pemecahan masalah itu. Upananda memberi mereka masing-masing sebuah jubah dan
mengambil selimut beludru yang berharga sebagai penggantinya.
Dua
bhikkhu muda tersebut merasa tidak puas dengan keputusan tersebut tetapi mereka
tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan perasaan tidak puas dan murung, mereka
menemui Sang Buddha dan memberitahukan kejadian tersebut. Kepada mereka Sang
Buddha berkata: “Seseorang yang mengajar orang lain, seharusnya mengajar
dirinya sendiri terlebih dahulu dan berkelakuan sebagaimana yang ia ajarkan.”
Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 158 berikut:
Hendaknya orang terlebih dahulu
mengembangkan diri sendiri
dalam hal-hal yang patut,
dan selanjutnya melatih orang lain.
Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela.
dalam hal-hal yang patut,
dan selanjutnya melatih orang lain.
Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela.
Dua
bhikkhu muda tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah
Dhamma itu berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar