Kelompok pertama: Sekelompok bhikkhu dalam perjalanan mereka
untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka berhenti di sebuah
desa. Beberapa orang memasak makanan untuk didanakan kepada para bhikkhu. Salah
satu rumah terbakar dan alarm kebakaran berkumandang di udara.
Pada
saat itu, seekor burung gagak terbang mendekat dan mematuk alarm kebakaran,
lalu jatuh mati di tengah-tengah desa. Para bhikkhu melihat burung gagak yang
telah mati berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat menjelaskan
kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak sehingga ia mati dengan cara
itu.
Setelah
menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan
penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak
yang malang.
Kelompok kedua: Kelompok bhikkhu lain yang sedang mengadakan
perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka juga dalam perjalanan untuk melakukan
penghormatan kepada Sang Buddha, ketika mereka sedang berada di tengah lautan,
kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang
membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.
Kapten
kapal berkata dengan sedih, “Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia
karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke
leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan
melihatnya lagi.”
Wanita
itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak
kembali.
Setibanya
di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan
perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang
Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke
laut.
Kelompok ketiga: Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh
bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha.
Mereka meminta keterangan pada sebuah vihara di mana terdapat tempat yang layak
untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan
sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.
Tetapi
di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu
masuk gua.
Pada
pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di sekitar situ datang ke gua melihat
apa yang terjadi dan mereka membawa orang-orang dari tujuh desa. Dengan bantuan
penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu
tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa
makanan dan minuman selama tujuh hari.
Pada
hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para bhikkhu
bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang
Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah
mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam
gua.
Ketiga
kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka
bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang
Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.
Sang
Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama: “Para bhikkhu, dahulu kala ada
seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat
malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk
melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur.
Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras
kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling
leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh
kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya)
dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar pada akhir
kehidupan yang ketujuhnya.”
Sang
Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua: “Para bhikkhu, saat itu terdapat
seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing
tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda
yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan
merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi
sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke
dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini,
wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk
memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilempar ke dalam laut, dan
tenggelam pada akhir kehidupan yang keseratusnya”.
Sang
Buddha menjawab pada kelompok ketiga: “Para bhikkhu, saat itu tujuh orang gembala
melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh
jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang
pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar, mereka pergi serta melupakan
iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian,
mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan dengan cepat kembali ke
tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari
perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh
hari tanpa makanan dan minuman pada akhir kehidupan yang keempatbelasnya.”
Kemudian
para bhikkhu berkata, “O memang benar! Tidak ada tempat pelarian dari akibat
kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada
di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua”.
Kepada
mereka Sang Buddha berkata, “Benar, bhikkhu! Kamu benar, walaupun di langit
atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat
kejahatan.”
Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 127 berikut:
Tidak di langit, di tengah lautan, di
celah-celah gunung atau di manapun juga,
dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat
menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.
Semua
bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar