Suatu
ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi samanera atas permintaan
ayahnya. Sebelum rambut kepalanya dicukur, anak itu diberi sebuah objek
meditasi. ketika rambut kepala anak itu sedang dicukur, ia memusatkan
pikirannya dengan teguh pada objek meditasi. Sebagai hasil dari meditasinya,
dan juga berkat kamma baiknya di waktu lampau, akhirnya ia mencapai tingkat
kesucian arahat secepat orang selesai mencukur rambut kepalanya.
Beberapa
waktu kemudian, Tissa Thera, disertai samanera tersebut, pergi ke Savatthi
untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. di tengah perjalanan mereka
bermalam di sebuah vihara desa. Tissa thera tidur, tetapi samanera muda duduk
sepanjang malam di samping kasur Tissa thera. Pada waktu fajar menyingsing,
Tissa Thera berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan samanera muda. Ia
membangunkan samanera dengan kipas daun palemnya, tetapi secara tidak sengaja
mata samanera terpukul oleh tangkai kipas dan matanya rusak.
Samanera
menutup matanya dengan satu tangan dan pergi melaksanakan tugasnya
mempersiapkan air pencuci muka dan mulut Tissa Thera, menyapu lantai vihara dan
lain-lain. Ketika samanera muda mempersembahkan air dengan satu tangan kepada
Tissa Thera, Tissa Thera mencelanya dan berkata bahwa ia seharusnya
mempersembahkan dengan dua tangan.
Kemudian,
setelah Tissa Thera mengetahui bagaimana samanera itu rusak matanya, seketika
itu ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap seorang manusia
yang sungguh-sungguh mulia. Merasa sangat menyesal dan merasa dirinya rendah,
ia memohon maaf kepada samanera.
Tetapi
samanera berkata bahwa itu bukan kesalahan Tissa Thera, juga bukan kesalahannya
sendiri, tapi merupakan buah/akibat perbuatan (karma) lampau, sehingga Tissa
Thera tidak lagi terlalu sedih. Tetapi Tissa Thera tidak dapat mengatasi
kekecewaan atas kesalahan yang tak dikehendakinya.
Kemudian
mereka meneruskan perjalanan ke Savatthi dan sampai di Vihara Jetavana dimana
Sang Buddha menetap. Tissa Thera berkata kepada Sang Buddha bahwa samanera muda
yang datang bersamanya adalah seorang yang paling mulia yang pernah ia temui,
dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam perjalanan mereka.
Sang
Buddha lalu menjawab: “Anakku, seorang arahat tidak akan marah dengan siapapun.
ia sudah mengendalikan indrianya dan memiliki ketenangan yang sempurna.”
Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 96 berikut ini:
Orang suci yang memiliki pengetahuan sejati,
yang telah terbebas, damai dan seimbang batinnya,
maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar