Lima
ratus bhikkhu yang berasal dari Savatthi, setelah memperoleh cara-cara
bermeditasi dari Sang Buddha, mengadakan perjalanan sejauh seratus yojana dari
Savatthi dan tiba pada sebuah hutan yang besar, suatu tempat yang cocok untuk
melaksanakan meditasi. Banyak makhluk halus yang berdiam pada pohon-pohon di
hutan tempat para bhikkhu tinggal, para makhluk halus itu merasa tidak sesuai
berdiam di pohon bersama-sama mereka.
Para
makhluk halus itu kemudian turun dari pohon dan berpikir, “Ah, para bhikkhu itu
hanya bermeditasi untuk satu malam saja. Biarlah aku mengalah dan menyingkir
dari pohon.” Tetapi, sampai dini hari, para bhikkhu itu belum pergi juga.
“Celaka,
jangan-jangan para bhikkhu itu akan tinggal di sini sampai akhir masa vassa.
Maka aku dan keluargaku terpaksa harus tinggal di tanah dalam waktu yang lama.”
Pikir makhluk-makhluk halus itu lagi. Mereka segera berunding dan memutuskan
untuk menakut-nakuti para bhikkhu tersebut pada malam harinya, dengan membuat
suara-suara dan hal-hal aneh yang menakutkan. Mereka memperlihatkan tubuh tanpa
kepala, kepala tanpa tubuh, kerangka-kerangka yang berjalan mondar-mandir, dan
sebagainya.
Bhikkhu-bhikkhu
sangat terganggu dengan tingkah laku mereka dan akhirnya meninggalkan tempat
itu, kembali menghadap Sang Buddha, serta menceritakan segala yang terjadi.
Setelah
mendengarkan laporan mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu terjadi
karena mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Mereka harus kembali ke hutan itu
dengan membawa sesuatu yang sesuai (cinta kasih). Kemudian Sang Buddha
mengajarkan “Metta Sutta” (Sutta Pengembangan Cinta Kasih) kepada mereka,
diawali dengan syair berikut:
Karaniyamattha
kusalena
Yantam santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suhuju ca
Suvaco c’assa mudu anatimani dst.
Hal-hal inilah yang perlu dilakukan oleh
mereka yang tangkas dalam kebaikan dan bermanfaat mencapai ketenangan sempurna
(Nibbana).
Ia harus tepat guna, jujur, sungguh jujur,
rendah hati, lemah lembut, tiada sombong, dst.
Bhikkhu-bhikkhu
diharapkan untuk mengulang kembali sutta itu pada saat mereka tiba di pinggir
hutan dan berada di vihara.
Para
bhikkhu pergi kembali ke hutan dan melakukan pesan Sang Buddha. Makhluk halus
penunggu pohon mendapat pancaran cinta kasih dari bhikkhu-bhikkhu.
Mengetahui
bahwa para bhikkhu sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka, para makhluk halus
membalas dengan menyambut selamat datang dan tidak mengganggu lagi. Di hutan
itu tidak ada lagi suara-suara dan penglihatan-penglihatan yang aneh. Dalam
suasana damai bhikkhu-bhikkhu bermeditasi dengan objek tubuh jasmani, dan
mereka memperoleh perealisasian bahwa tubuh ini rapuh dan tidak kekal
keberadaannya.
Dari
Vihara Jetavana, Sang Buddha, dengan kekuatan batinnya, mengetahui kemajuan
batin bhikkhu-bhikkhu itu dan mengirimkan cahaya agar membuat mereka merasakan
kehadiran beliau.
Kepada
mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, seperti apa yang kalian telah
realisasikan, tubuh ini sungguh-sungguh tidak kekal dan rapuh seperti sebuah
tempayan tanah.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 40 berikut:
Dengan mengetahui bahwa tubuh ini rapuh
bagaikan tempayan,
hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng
kota,
dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan.
Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya,
dan hidup tanpa ikatan lagi.
Lima
ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.